Jumat 16 Jan 2015 05:00 WIB

Ketika Kartun Membuat Marah Orang yang Salah

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Julkifli Marbun
Salah satu edisi majalah Charlie Hebdo.
Foto: Stripsjournal
Salah satu edisi majalah Charlie Hebdo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang seniman asal Sudan, kartunis politik, ilustrator, desainer dan penulis Khalid Albaih menyampaikan pendapatnya mengenai penembakan di kantor majalah satir Prancis Charlie Hebdo.

Dalam opininya di laman Al Jazeera pekan lalu, dia mengatakan sebagai seorang kartunis politik Arab dan Muslim  yang hidup dan bekerja di Timur Tengah, ketakutan membuat marah orang yang salah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Dia mulai membuat kartun bernuansa politik saat tahap awal Arab Spring pada 2011. Seperti umumnya anak muda di Timur Tengah, dia menemukan media sosial sebagai media penyalurannya. Dengan cepat dia dilabeli sebagai seniman revolusi.

Kini, karyanya tersebar di seluruh dunia. Mulai dari Sudan, Yaman dan Tunisia. Kartun bikinannya digunakan kelompok revolusi dan aktivis politik.

Dia mengaku membuat kartun politik adalah hasratnya. Dia tidak membuat karikatur sebagai sumber penghasilan. Albaih justru mendorong masyarakat menggandakan dan mempublikasikannya. Itu adalah sebuah kehormatan baginya, sekaligus hal yang membahayakan.

Albaih menambahkan tidak mudah membuat kartun yang bisa lolos sensor di semua tingkat. Dimulai dengan sensor diri hingga sendor oleh pemerintah.

Karena itulah dia mengerti betul mengapa Barat berjuang keras menjaga kebebasan berbicara sebebas-bebasnya seperti seharusnya. Mengenai serangan terhadap majalah Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang dia dengan sepenuh hati mengecam tindakan tiga pemuda itu.

Dia mengecam serangan terhadap kartunis meski dia sendiri tidak setuju dengan editorial majalah itu. Menurutnya, editorial Charlie Hebdo seringkali menyakitkan dan rasis. Namun, dia tetap mendukung kebebasan mereka untuk mengungkapkan pendapat.

Dia percaya agama atau ideologi para penyerang tidak relevan. Albaih yakin para pelaku hanya mencari sasaran serangan. Mereka pasti menyerang tempat lain jika tidak melakukannya terhadap Charlie Hebdo.

Muslim tampaknya kehilangan cara. Mereka terus-menerus meminta maaf atas kejahatan yang tidak mereka lakukan atau dukung.

Muslim juga adalah korban dari kekerasan para ekstremis. Namun, tetap saja mereka minta maaf dan menebus kesalahan seseorang yang melakukan kejahatan yang dilakukan atas nama agama yang mereka anut.

Situasi  ini adalah pelestarian dari apa yang terjadi di Timur Tengah sekarang yang jauh  lebih kompleks daripada bisnis kartun. Kebebasan berbicara merupakan senjata yang ampuh, yang diakuinya tidak sepenuhnya ia miliki.

Dia berpesan bagi mereka yang memilikinya dia ingin agar mereka tidak menganggapnya sebagai hal yang diberikan begitu saja.

Sebaliknya, mereka harus mengajukan pertanyaan yang tepat, yakni pertanyaan-pertanyaan yang perlu ditanyakan, bukannya  menuduh yang merupakan bahan bakar stereotip yang berasal dari media mainstream.

Pekerjaan mereka harus fokus pada penyampaian pesan yang tepat. Mereka harus bekerja untuk menjembatani kesenjangan, bukan justru melebarkannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement