Kamis 12 May 2016 15:39 WIB

Lelah Menunggu, Migran di Yunani Berbisnis demi Bertahan Hidup

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Ani Nursalikah
Seorang perempuan Suriah memasak di kamp pengungsi di Idomeni, Yunani, Selasa, 10 Mei 2016.
Foto:

Tenda migran ditempatkan sembarangan, berdesak-desakan di padang rumput di luar desa Idomeni. Fasilitas dasar sangat langka di kamp tersebut. Di sana terdapat toilet kimia tetapi bau dan sering meluap.

Menteri Migasi Yunani Yannis Mouzalas pekan lalu mengatakan, kondisi kamp itu merupakan penghinaan yang harus dihentikan. Namun Yunani, tidak seperti Prancis yang memiliki sebuah kamp tidak resmi 'The Jungle' di Calais. Yunani melakukan pendekatan pelan-pelan dengan migran Idomeni.

"Kami akan meningkatkan dialog," kata Mouzalas kepada Athenns News Agency.

Raied Anbtauay (44 tahun) dari Aleppo telah terdampar di Idomeni selama tiga bulan. Ia terpisah dari keluarganya yang telah mencapai Jerman. Selama 10 hari terakhir, ia telah membuat falafel untuk bertahan hidup. Ia memasaknya di sebuah pondok kecil, menyelimutinya dengan lapisan tipis.

"Saya kehabisan uang dan saya harus melakukan sesuatu," katanya.

Migran lain bernama Ridwan Kiko (29)  mengaku terpaksa menjual buah dan sayuran yang ia beli dari Greek Roma untuk bertahan hidup. Ia juga perlu mendapatkan uang untuk membeli obat bagi ibunya yang terkena diabetes dan membutuhkan insulin.

"Hidup di sini sangat mengerikan, kami tidak punya air bersih, kami tidak punya uang, makanan tidak cukup baik dan tidak cukup bagi semua orang," kata pria dari Palestina.

Kepala kantor UNHCR di Idomeni Marco Buono mengatakan, pengusaha pemula mungkin lahir dari kesadaran perbatasan akan tetap tertutup. "Toko-toko mulai muncul pada akhir Maret. Ada orang dengan keterampilannya ingin berguna bagi masyarakat dan keluarga mereka, pada saat yang sama menghasilkan uang," ujar Buono.

Meskipun banding berulang-ulang oleh otoritas Yunani, sebagian besar pengungsi dan migran di Idomeni menolak mengalah.

Kiko, yang mengajar matematika dan fisika di Damaskus mengatakan akan tetap tinggal sampai ia bisa pindah ke Jerman. Selama Idomeni ada, kata dia, ini akan menjadi beban bagi hati nurani Eropa. "Jika kami meninggalkan Idomeni, dunia akan melupakan kami," lanjutnya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement