REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis akan mengambil alih kekuasaan di Thailand awal Desember 2017, setelah negara itu mengesahkan konstitusi yang didukung militer. Sejauh ini, lebih dari 61 persen suara mendukung referendum Ahad (7/8) yang akan membuka jalan bagi pemilihan umum.
Hasil tersebut masih merupakan awal sebelum hasil lengkap pada Rabu (10/8).
Para analis mengatakan, keinginan untuk melihat stabilitas politik yang lebih besar membuat suara referendum condong ke 'ya'. Seperti diketahui, Thailand telah diguncang gejolak politik lebih dari satu dekade, yang telah menghambat pertumbuhan, dua kali kudeta militer yang sering memicu protes mematikan di jalanan.
"Kami pikir akan ada pemilu di awal bulan September atau Oktober tahun 2017 dan pemerintahan baru pada bulan Desember 2017," kata juru bicara Komite Drafting Konstitusi Chatchai Na Chiang Mai. Wakil Perdana Menteri Wissanu Krea-ngam pada Senin (8/8) juga mengatakan, pemilu akan berlangsung pada 2017.
Sebelum pemungutan suara, partai politik besar Thailand mengkritik rancangan konstitusi. Mereka mengatakan konstitusi akan membatasi demokrasi termasuk salah satu ketentuan menyerukan Senat meyediakan kursi untuk para komandan militer.
Beberapa negara telah memiliki lebih banyak konstitusi dan draft yang secara historis gagal menghasilkan apapun yang bertahan lama. Thailand telah mengeluarkan 19 konstitusi sejak monarki konstitusional diganti pada 1932.
Anggota oposisi antijunta mengatakan mereka mengulur waktu sampai pemilu 2017, jika partai yang mereka dukung kembali mengambil kekuasaan, mereka dapat membatalkan piagam militer.
"Kami menerima hasil referendum dan akan menunggu dan melihat apa yang terjadi di pemilu 2017. Kami akan segera memutuskan langkah berikutnya," kata Ketua Front Persatuan untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran, Jatuporn Prompan.