Senin 19 Dec 2016 11:12 WIB

Profesor Islam Australia Angkat Bicara Soal Ucapkan Selamat Natal

Professor Islam dari University of South Australia di Adelaide Mohamad Abdalla memberikan ceramah kepada jamaah Kajian Islam Adelaide (KIA).
Foto:

Menyitir pendapat Sayyid Hossen Nasr, pemikir keislaman dari Iran, Abdalla mengungkapkan proses modernisasi dan sekularisasi yang berada di bawah pengaruh peradaban Barat ini tidak bisa meruntuhkan nilai-nilai tauhid yang dimiliki seorang Muslim.

Beliau meyakini apa pun dampak dari situasi ini, ruh tauhid dari seorang Muslim akan selalu berada di dalam dirinya, dan sesekali hanya dibutuhkan pemantik untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dasar tauhid yang dimilikinya itu untuk kembali hidup.

Suasana diskusi “Building Harmony in Diverse Faith Tradition”.
Suasana diskusi “Building Harmony in Diverse Faith Tradition”. Foto: KIA

Lebih lanjut, pendiri Griffithh University Islamic Research Unit (GIRU) ini menyampaikan pentingnya pendidikan manusia muslim yang mengarah pada tiga hal, yakni akal, jasad dan ruh, dan yang terakhir ini merupakan esensi dari keberadaan kita sebagai manusia.

Kegagalan pada orientalis barat dalam menjelaskan Islam salah satunya adalah karena mereka tidak memiliki ruh Islam dalam dirinya, ketidakpercayaan mereka terhadap ajaran Islam menjadikan apa yang mereka jelaskan menjadi kurang relevan dan tidak bermakna. Hal ini disebabkan karena Islam dipandang sebagai objek kajian yang dianggap sebagai golongan luar dirinya (otherism) yang lebih inferior.

Di sisi lain, banyak sekali para sarjana-sarjana Islam yang sangat mahir dalam bidangnya masing-masing namun tidak mampu menghadirkan kemampuan intelektualnya di lingkungan dimana Islam berada. Itulah sebabnya, Abdalla bersama dengan tim riset dan akademisnya di CITE memfokuskan kegiatan lembaganya dalam pembaharuan pendidikan sekolah Islam untuk mendidik para sarjana-sarjana ilmu keislaman supaya bisa memahami keduanya, teks dan konteks.

Di akhir ceramahnya, Abdalla mengatakan sebagai seorang sarjana Muslim, selain niat, menjadi sangat penting berserah diri kepada Allah atau ma’rifatullah, namun juga kemampuan untuk memberikan transformasi dan kontekstualisasi keilmuannya.

Menjawab pertanyaan dari Sukendar Sodik, kandidat doktor dari Flinders Univesity yang juga pengasuh kajian rutin KIA, tentang bagaimana mengaplikasikan konsep bahwa Islam adalah agama yang sangat relevan di semua zaman dan waktu, Abdalla mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut memiliki aspek yang sangat luas, salah satunya adalah dengan memahami Maqashid Syari’ah dalam menentukan hukum Islam, Mengutip pendapat Al Juwaini dan juga muridnya yakni  Al-Ghazali, Abdalla menandaskan bahwa jika sesuatu itu wajib maka segala sesuatu yang mendukun kewajiban tersebut pun akan menjadi wajib.

Dia mencontohkan kewajiban umat Islam untuk memahami Alquran menjadikan kegiatan mencari ilmu untuk bisa memahami Alquran itu wajib. Lebih lanjut, beliau menjelaskan sebagaimana disampaikan ulama hukum Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa esensi dari syari’ah adalah keadilan (‘Adl) dan kasih sayang (Rahmah), dan keduanya tidak bisa dipisahkan.

Hal demikian, menurutnya bisa dirasakan dalam kehidupan keseharian masyarakat di Australia, dimana keadilan bisa dicapai tanpa meninggalkan aspek rahmat dari keadilan itu sendiri.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/building-harmony-in-diverse-faith-traditions/8131556
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement