Senin 19 Dec 2016 11:12 WIB

Profesor Islam Australia Angkat Bicara Soal Ucapkan Selamat Natal

Professor Islam dari University of South Australia di Adelaide Mohamad Abdalla memberikan ceramah kepada jamaah Kajian Islam Adelaide (KIA).
Foto:

Ucapan Selamat Hari Natal

Menanggapi pertanyaan tentang munculnya isu tahunan tentang hukum mengucapkan selamat hari natal kepada umat kristiani, profesor Islamic Studies yang sudah lebih dari 30 tahun menetap di Australia ini menjelaskan menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain seyogyanya dilihat dalam konteks hubungan kemanusiaan atau muamalah dan bukan ubudiyyah. Apalagi jika perayaan tersebut merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat setempat, seperti halnya merayakan ulang tahun, dan lain sebagainya.

Namun, beliau juga mengingatkan Muslim juga harus berhati-hati jika praktik muamalah ini dipandang memiliki aspek ubudiyah dan bisa membahayakan tauhid dan keimanan. Dalam sejarah peradaban Islam, lanjut Abdalla, sejak zaman Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, umat Islam dilarang mengganggu ibadah umat agama lain apalagi sampai merusak tempat peribadatan mereka.

Beliau juga mengingatkan manusia secara fitrah memiliki loyalitas natural (wala’ thobi’i) dan loyalitas keyakinan (wala’ diniy). Beliau mencontohkan manifestasi loyalitas natural ini seperti halnya cinta tanah air sehingga seseorang menjadi patriotik dan nasionalis, sebagaimana ungkapan yang disampaikan ulama pendahulu Nahdlatul Ulama atau NU yakni hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Ringkasnya, loyalitas natural ini memberikan ruang manusia untuk memiliki hubungan fungsional dengan sesama.

Foto bersama sebagian peserta diskusi bersama Prof Abdalla dan Dr Dylan Chown.
Foto bersama sebagian peserta diskusi bersama Prof Abdalla dan Dr Dylan Chown. 

Di akhir diskusi, Professor Abdalla menjelaskan tentang bagaimana konsep Islami, yang menerapkan nilai-nilai keadilan yang memberikan rahmat untuk semuanya diterapkan di Australia. Beliau mencontohkan kasus yang menimpa seorang dokter Muslim dari India yang berpraktik medis dengan visa kerja di wilayah Gold Coast pada 2005 yang sempat ditahan pemerintah berkuasa pada waktu itu dengan tuduhan terkait dengan kegiatan terorisme, beberapa saat setelah terjadinya ledakan bom di London.

Masyarakat pada waktu itu melakukan protes besar-besaran sehingga sang terdakwa kemudian dibebaskan dan bahkan menuntut balik pemerintah yang akhirnya menutup kasus tersebut dengan pembersihan nama baik. "Artinya, sistem pengadilan di Australia memungkinkan semua orang memperoleh keadilan dan diberikan ruang dan fasilitas bagi individu untuk melakukan hal tersebut," katanya.

Meskipun diakui, keadilan di dunia ini tidak ada yang bersifat mutlak atau absolut, namun paling tidak sistem yang dibangun berdasarkan semangat keadilan haruslah ada.

Selain memberikan ceramah keagamaan, Professor Abdalla yang datang bersama dengan stafnya Dylan Chown, seorang mualaf yang kini menjadi tim peneliti dan Direktur Program Pendidikan Islam itu menyampaikan CITE baru-baru ini menandatangani kerja sama program beasiswa dengan Kementerian Agama Republik Indonesia bagi pada sarjana ilmu keislaman di Indonesia untuk melanjutkan jenjang pendidikan doktor dan memperdalam ilmunya di lembaga yang dipimpinnya itu.

Hadir juga dalam kesempatan itu, dosen senior akuntansi dari University of South Australia, Elvia Shauki yang juga sebagai penggagas acara diskusi ini yang menyampaikan keinginannya untuk bisa menjalin kerja sama dalam bidang akademik baik melalui internship maupun riset dalam bidang perbankan Islam dan ekonomi Islam.

*Tufel Musyadad adalah Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia dan New Zealand, sudah tinggal di Adelaide (Australia Selatan) sejak 2008.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/building-harmony-in-diverse-faith-traditions/8131556
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement