Senin 31 Jul 2017 09:09 WIB

Hitler Itu Bernama Israel

Israel
Foto:
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu.

Sebenarnya, sebelum Erdogan, sudah ba nyak menilai banyak kemiripan penderi taan rakyat Gaza itu dengan kekejaman serupa yang pernah dialami orang-orang Yahudi di Eropa Timur, terutama di Ghetto Warsawa, Polandia, yang saat itu dicaplok Nazi.

Analogi itu, mencuat pada 2008-2009 silam, ketika Israel —lewat Operasi Cast Lead— mem bom bardir Gaza dan membunuh 1.440 warganya.  Saat itu, Kementerian Ke sehatan Gaza men catat  di antara yang terbunuh adalah 431 anak-anak dan 114 perempuan. Adanya kemiripan itu, antara lain disam paikan oleh Profesor William Robinson, so siolog Universitas California.

“Gaza adalah Warsawanya Israel, sebuah kamp konsentrasi yang luas, yang memenjarakan dan mem blokade orang Palestina, membunuh mereka perlahanlahan dengan kekurangan pangan, penyakit, dan  keputusasaan, sebelum kemu dian dibunuh dengan cepat oleh bom-bom Israel. Kita semua menjadi saksi dari sebuah genosida yang berlangsung perlahan-lahan,” katanya dalam email yang dikirimkan kepada para mahasiswanya.

Surat elektronik yang semula dimaksudkan untuk memancing diskusi dengan para mahasiswanya, itu,  kemudian menye bar, dan membikin gerah Zionis-Israel dan para pen dukungnya. Sebuah organisasi lobi pro-Israel, Liga Anti-Fitnah (Anti-Defa mation League), mempersoalkan isi email itu dan menuntut Universitas California, Santa Barbara, tempat William mengajar, melakukan investigasi dan memecatnya.

Cukup lama soal ini diproses, dan memancing kon troversi, sampai akhirnya pihak universitas menyatakan itu merupakan bagian dari kebebasan akademik, sehingga tak bisa dituntut.

Gara-gara emailnya yang bikin heboh itu, Prof William akhirnya dicap antisemit, meski dia sendiri seorang Yahudi. Cap antisemit, merupakan cap yang bisa merepotkan di Ba rat sana. William sendiri mengaku bingung, sebab kritiknya terhadap kebijakan Israel telah dicampuradukkan dengan tuduhan antisemit.

“Itu seperti mengatakan saya adalah anti-Amerika, karena saya mengecam pemerintah AS atas invasinya di Irak. Itu absurd, dan tidak punya basis argumen… saya sendiri adalah Yahudi,” katanya.

Selain disampaikan Prof William, Alja zeera, mencatat analogi Gaza dengan Ghetto Warsawa itu  mula-mula dimunculkan oleh kalangan blogger, dan sejumlah media utama. Gambaran lain yang juga sama buruknya, yaitu membandingkan okupasi Israel dengan apartheid di Afrika Selatan, telah kian banyak diterima oleh masyarakat dunia, termasuk di Israel sendiri.

Namun, perbandingan itu terlalu lemah untuk memunculkan gambaran penderitaan rakyat Gaza sesung guhnya. Sehingga, Gaza kemudian disan ding kan dengan Ghetto Warsawa, terutama untuk menarik perhatian media Barat.

“Itu gambaran yang tak terhindarkan, terutama setelah perang 2008 dimulai,” tulis Aljazeera.

Tapi, bukan berarti analogi tersebut hanya menjadi propaganda yang dipaksakan. Nyatanya, memang banyak kemiripan Gaza dengan Ghetto  Warsawa. Ghetto, adalah bagian dari sebuah kota di mana kalangan minoritas ditempatkan, khususnya untuk melakukan tekanan sosial, hukum, dan ekonomi.

Ghetto Warsawa, adalah ghetto terbesar di Polandia, yang pada Perang Dunia II menjadi wilayah caplokan Nazi. Di sana, 400 ribu orang Yahudi mendiami kawasan 3,4 kilometer persegi. Ghetto itu dikelilingi tembok setinggi tiga meter, yang di atasnya dipasangi kawat berduri, dan sekelilingnya dijaga pasukan yang siap mengokang senjata.

Gambaran seperti itu, kini terlihat di Gaza. Tembok yang dibangun Israel untuk memblokade Gaza, bahkan lebih tinggi, yaitu delapan meter, dengan panjang 60 kilometer. Ditambah 10 kilometer tembok yang di bangun Mesir atas bantuan AS, total tembok yang mengelilingi Gaza sekitar 70 kilometer, atau separuh panjang Tembok Berlin.

Sementara, bagian Gaza yang berhadapan dengan Laut Mediterania, juga diblokade, dan terus ditongkrongi kapal

kapal perang Israel, menjadikan kawasan laut ini pun bak tem bok tak kasat mata.

Noam Chomsky, pakar politik dan lingui s tik Amerika, menyebut Gaza —yang luasnya 360 ki lometer persegi, de ngan penduduk sekitar 1,5 juta orang— penjara terbuka ter besar di dunia. Dan, sekali perang pecah di kawasan padat penduduk itu, warga sipil pun langsung ter jebak di zona perang, dan mere ka tidak bisa lari ke mana pun.

Pengepungan Israel atas Gaza —yang dibantu Mesir, dengan 10 kilometer temboknya di perbatasan Rafah— telah membangkitkan memori banyak orang tentang kontrol mutlak Nazi atas Ghetto Warsawa.

Dan, bila warga Ghetto Warsawa dikirim ke kamp konsentrasi untuk dibunuh di kamar gas, di Gaza warganya dibunuhi dengan ribuan ton bom. Selain pembangunan tembok di seke liling nya, dan tembak mati bagi yang berani melintasinya, masih banyak persamaan Gaza dengan Ghetto Warsawa.

Ghetto Warsawa, juga ghetto-ghetto lainnya, dihuni oleh orang-orang Yahudi yang dipaksa keluar dari rumahnya, kemudian digiring menuju salah satu sudut kota. Sementara, kebanyakan warga Gaza, adalah pengungsi dan keturu nan nya, yang terusir dari rumah-rumah mereka pada Perang 1948.

Restriksi bagi warga Gaza dalam mendapatkan makanan, air, dan keperluan medis, dan peningkatan kasus kurang gizi dan pengangguran, juga membangkitkan memori pada Nazi, yang mencekik ghetto secara perlahan, seperti yang digambarkan Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB tentang hak-hak asasi bangsa Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement