Selasa 07 Nov 2017 16:09 WIB

Kelaparan Meningkat di Sudan Selatan

Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan.
Foto: Beatrice Mategwa/UNMISS via AP
Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Musim panen membawa sedikit kelegaan bagi jutaan orang kelaparan di Sudan Selatan karena konflik dan hiperinflasi mendorong malnutrisi ke tingkat kritis yang dapat membuat banyak orang hidup dalam penuh risiko, demikian peringatan pakar keamanan pangan, Senin (6/11).

Lebih dari 1,1 juta anak balita diperkirakan kekurangan gizi pada 2018, termasuk hampir 300 ribu pada risiko kematian yang meningkat, menurut laporan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan terbaru (IPC).

Angka gizi buruk akut di hampir satu dari lima kabupaten di Sudan Selatan jauh di atas ambang batas darurat Organisasi Kesehatan Dunia sebesar 15 persen, kata IPC, yang anggotanya termasuk lembaga bantuan dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) serta Program Pangan Dunia.

"Ruang hijau negara itu telah dilanda pertempuran, dan menemukan solusi damai untuk tragedi buatan manusia ini harus menjadi prioritas utama atau situasinya akan semakin buruk tahun depan," ujar Serge Tissot, perwakilan FAO di Sudan Selatan dalam sebuah pernyataan.

"Banyak orang tinggal selangkah sebelum menuju kelaparan," katanya pada peluncuran laporan tersebut.

Sudan Selatan tertimpa perang saudara pada 2013 setelah Presiden Salva Kiir memecat wakilnya, melancarkan konflik yang telah melahirkan faksi-faksi bersenjata yang sering mengikuti garis etnis. Musim kekeringan - ketika rumah tangga kekurangan makanan sebelum panen berikutnya - diperkirakan akan dimulai tiga bulan lebih awal dari biasanya, menurut lembaga bantuan pangan tersebut.

Harga pangan melonjak, dengan harga per karung bahan pokok seperti tepung sorgum, jagung dan tepung terigu naik 281 persen dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu, katanya.

Konflik yang berlarut-larut kemungkinan akan menyebabkan berkurangnya perhatian publik untuk memberikan bantuan amal dan "tingkat pendanaan kemungkinan akan berkurang," demikian Isaiah Chol Aruai, ketua Biro Statistik Nasional Sudan Selatan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement