Selasa 14 Nov 2017 12:55 WIB

Ekonomi Lebanon akan Terpukul Jika Saudi Lakukan Blokade

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di Riyadh pada Senin (6/11).
Foto: SPA
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menerima kunjungan mantan Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri di Riyadh pada Senin (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Politisi dan bankir Lebanon percaya Arab Saudi bermaksud  melakukan blokade ekonomi jika tuntutannya tidak terpenuhi. Tidak seperti Qatar, pemasok gas alam cair terbesar di dunia dengan populasi hanya 300 ribu, Lebanon tidak memiliki sumber daya alam maupun keuangan.  Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi warga Lebanon, jika Saudi benar melakukan blokade. 

Tak hanya itu 400 ribu pekerja Lebanon berada di kawasan Teluk, dan uang yang mengalir kembali ke negara tersebut, diperkirakan antara  7-8 miliar dolar AS per tahun. Ini merupakan sumber uang yang sangat penting untuk menjaga ekonomi dan fungsi pemerintah.

"Ini adalah ancaman serius bagi ekonomi Lebanon yang sudah mengerikan. Jika mereka memotong transfer pengiriman uang, itu akan menjadi bencana," kata seorang pejabat senior Lebanon kepada Reuters.

Ancaman tersebut berasal dari mantan perdana menteri Lebanon, Saad al-Hariri, yang mengundurkan diri pada 4 November dalam sebuah siaran mengejutkan dari Riyadh. Para pemimpin politik Lebanon dianggap mendapat tekanan dari Saudi.

Hariri, sekutu Arab Saudi, pada Ahad memperingatkan kemungkinan sanksi Arab dan bahaya bagi penghidupan ratusan ribu orang Lebanon yang tinggal di Teluk.

Hariri mengemukakan kondisi Saudi untuk Lebanon agar menghindari sanksi. Hizbullah, kelompok yang didukung Iran yang merupakan kekuatan politik utama Lebanon dan bagian dari koalisi pemerintah berkuasa, harus berhenti mencampuri konflik regional, khususnya Yaman.

Pengunduran Hariri telah mendorong Lebanon ke pusat persaingan yang meningkat antara Sunni Arab Saudi dan Iran Syiah. Menurut analisis, kebijakan Saudi yang tidak konfrontatif terhadap Lebanon telah berlalu, di bawah kepemimpinan  Putra Mahkota Mohammed bin Salman, putra Salman yang berusia 32 tahun. Dia sekarang adalah penguasa de facto kerajaan, menjalankan urusan militer, politik dan ekonominya.

"Mereka (Hizbullah) mungkin membuat beberapa konsesi, tapi mereka tidak akan tunduk pada kondisi Saudi," kata seorang sumber yang akrab dengan pemikiran Hizbullah.

Analis Libanon Sarkis Naoum mengatakan Riyadh ingin Hariri kembali ke Lebanon dan menekan Presiden Michel Aoun untuk membuka dialog dan menangani kondisi mereka mengenai intervensi regional Hizbullah. "Mereka harus datang dengan posisi yang akan memuaskan orang Saudi . Jika Saudi memutuskan sanksi, mereka akan melakukannya," kata Naoum.

Seorang sumber yang dekat dengan Hariri mengatakan  dia telah meletakkan bola di istana presiden, Hizbullah dan sekutu-sekutunya, dengan mengatakan  kerjasama tidak dapat dilanjutkan lagi. "Sanksi tersebut dijabarkan dengan jelas. Mereka ingin Lebanon dilepaskan dari Hizbullah," katanya.

Riyadh  mengalami kesulitan dalam perang yang dilancarkannya terhadap pemberontak Houthi yang bersekutu di Yaman pada  2015. Arab Saudi telah menuduh Iran dan Hizbullah mendukung Houthi. Saudi juga menuding Hizbullah memiliki peran dalam menembaki sebuah rudal balistik dari Yaman ke Riyadh awal bulan ini.

Riyadh  telah menyalurkan miliaran dolar ke Lebanon untuk membantu rekonstruksi setelah perang sipil 1975-90 dan menyusul serangan besar-besaran di Lebanon selatan.

Kini tampaknya Saudi siap melakukan blokade ekonomi serius ke Lebanon yang bisa melemahkan kedudukan Hizbullah di dalam negeri dan di wilayahnya, jika tuntutannya tidak terpenuhi..

"Lebanon akan membayar harganya. Satu-satunya tekanan yang dimiliki Saudi adalah ekonomi. Mereka dapat menekan dengan menjatuhkan sanksi," kata seorang bankir Libanon kepada Reuters.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement