Kamis 23 Nov 2017 00:07 WIB

Serba-Serbi Gunung Berapi: Jenis, Frekuensi Letusan dan Dampak

Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali akhirnya meletus. Puncak tertinggi di Pulau Dewata itu mengeluarkan asap hitam pada Selasa (21/11) sore, pukul 17.35 WITA dalam kondisi level siaga atau level tiga.
Foto:

Apa yang terjadi jika gunung berapi meletus?

Aliran lava panas bisa membakar, mengubur dan melibas apa pun di jalurnya tapi setidaknya, itu biasanya bergerak cukup lambat agar manusia bisa menyingkir. Tapi ketika gunung berapi Meletus, segala sesuatunya bisa menjadi jauh lebih spektakuler - dan berisiko.

Sebagai awalan, ada gas dan batu panas (disebut aliran piroklastik atau lonjakan arus) yang jatuh di lereng -inilah yang mengubur kota Pompeii saat Gunung Vesuvius meletus pada tahun 79 Masehi.

Lalu ada "bom vulkanik" yang terbuat dari batu yang bisa terbang keluar dari ventilasi dan awan letusan yang terbuat dari abu dan gas yang menyembur ke udara. Gunung berapi yang meledak juga menyebabkan longsoran lumpur (disebut lahar) dan tsunami. Gempa bumi, tanah longsor dan banjir dari gunung berapi yang meleleh di sekitar gletser adalah beberapa kejadian yang terkait dengan letusan.

Apa dampaknya bagi kesehatan?

Sebanyak sepersepuluh dari populasi dunia tinggal di dalam jangkauan gunung berapi, dengan lebih dari 800 juta orang tinggal dalam radius 100 km dari gunung berapi aktif. Menurut penelitian terbaru yang menganalisa korban jiwa akibat aktivitas vulkanik antara tahun 1500 dan 2017, sekitar 540 orang per tahun terbunuh oleh aktivitas vulkanik.

Sebagian besar korban ini tewas dalam radius 10 km namun kematian masih terjadi hingga 170 km jauhnya. Bom balistik atau bom vulkanik adalah bahaya langsung terbesar. Aliran piroklastik dan longsoran yang cepat bergerak dari batuan panas, abu, dan gas adalah ancaman paling dominan di antara jarak 5 dan 15 kilometer dari gunung berapi.

Abu halus yang jatuh bisa menyebabkan masalah pernafasan, seperti juga gas yang dilepaskan saat letusan, khususnya karbon dioksida dan sulfur dioksida, kata Profesor Cas. "Karbon dioksida berpotensi menjadi gas vulkanik paling berbahaya karena padat sehingga mengendap dan tetap berada di dekat tanah dan kedua Anda tak bisa mencium baunya," jelas Prof Cas.

Bagaimana dengan lingkungan?

Awan abu dan gas vulkanik bisa membahayakan kesehatan kita, lingkungan dan perjalanan.
Awan abu dan gas vulkanik bisa membahayakan kesehatan kita, lingkungan dan perjalanan.

Wikimedia Commons: Arni Frioriksson

Sulfur dioksida juga berkontribusi terhadap hujan asam dan emisi vulkanik juga memengaruhi cuaca serta iklim. Sementara karbon dioksida memiliki efek pemanasan, efek utama dari emisi vulkanik - adalah efek pendinginan, kata Dr Cas.

Ini karena abu, dan belerang dioksida (yang bereaksi dengan uap air di udara), menyebabkan efek albedo - atau pantulan panas Matahari. Profesor Cas mengatakan hal ini terutama terjadi pada supervolcano - yang letusan utamanya dilepaskan dalam bentuk 40 hingga 1000 kilometer kubik batuan cair.

"Abu dan gas yang sangat halus diangkat ke atmosfer bagian atas, mengelilingi dunia dan mulai memengaruhi iklim," kata Prof Cas.

Dan dampaknya terhadap perjalanan?

Terbang menembus awan abu vulkanik juga bisa menjadi bahaya utama perjalanan udara. Mesin pesawat terbang begitu panas sehingga melelehkan abu kembali menjadi fragmen magma yang menyumbat lubang keluar.

Pesawat membawa radar yang mendeteksi awan abu vulkanik, dan pusat kontrol udara di seluruh dunia menggunakan satelit untuk melacak awan abu dan memberikan peringatan ke pesawat. Mesin di daratan juga bisa terdampak abu vulkanik.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/studi-nad-inovasi/serba-serbi-gunung-berapi-jenis-frekuensi-letusan-dan-dampak/9180632
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement