REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Paus Francis telah bertemu dengan panglima militer Myanmar, saat dia memulai kunjungan kepausan pertama ke sebuah negara yang secara luas dituduh melakukan membersihkan etnis terhadap Muslim Rohingya. Meski Jenderal Min Aung Hlaing membantah "diskriminasi agama" dalam sebuah kampanye militer di negara bagian Rakhine.
Pejabat di negara mayoritas Buddha mengamati dengan seksama untuk melihat bagaimana Paus menanggapi krisis tersebut. Dia telah didesak oleh pemerintah dan kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menekan Myanmar atas perlakuan mereka terhadap orang-orang Rohingya. Lebih dari 600 ribu orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar ke negara tetangga Bangladesh sejak Agustus, ketika serangan mematikan terhadap pos polisi oleh militan Rohingya memicu sebuah tindakan militer di negara bagian Rakhine.
Sebagai bagian dari kunjungannya ke wilayah tersebut, Paus juga akan bertemu dengan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. Setelah Myanmar, dia akan pindah ke Bangladesh untuk bertemu dengan sekelompok kecil pengungsi Rohingya.
Paus berusia 80 tahun ini telah dikenal karena pandangan dan kemauannya yang moderat untuk menentang ketidakadilan global. Paus bertemu dengan pemimpin militer Jenderal Min Aung Hlaing beberapa jam setelah tiba di Myanmar. Dikutip dari BBC News Jenderal Hlaing mengatakan kepada Paus tidak ada diskriminasi agama di Myanmar dan ada kebebasan beragama. Namun belum jelas bagaimana respons Paus terkait perkataan Hlaing.
Paus sebelumnya menggunakan istilah "saudara laki-laki dan perempuan Rohingya kami" saat menentang kekerasan tersebut. Namun satu-satunya kardinal Katolik dari Myanmar telah meminta dia untuk tidak menggunakan istilah itu dalam perjalanannya, untuk mencegah tersinggungnya perasaan lokal.
Juru bicara Vatikan Greg Burke mengatakan, Paus Fransiskus diberikan saran untuk menggunakan istilah "Rohingya" dengan hati-hati. ''Kami akan lihat bersama selama perjalanan. Ini bukan sebuah kata terlarang,'' jelas Burke.
Pejabat Myanmar tidak menggunakan istilah tersebut, namun menyebut Rohingya sebagai orang Bengali, dan mengatakan mereka bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh. Sehingga tidak boleh terdaftar sebagai salah satu kelompok etnis di negara tersebut.
Bangladesh menyangkal mereka adalah warganya. Myanmar mengatakan tindakan keras di Rakhine adalah untuk membasmi gerilyawan dengan kekerasan di sana. Namun PBB telah menggambarkan kekerasan tersebut sebagai contoh tentang pembersihan etnis, sebuah sentimen yang juga disuarakan oleh para kritikus internasional.