REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha pada Selasa (27/2) mengatakan pemilihan umum yang dijanjikannya pada November akan berlangsung selambat-lambatnya pada Februari 2019. Penundaan terkini itu memicu kemarahan terhadap pemerintah.
Penguasa menjanjikan dan menunda pemilihan umum beberapa kali sejak kudeta tentara pada 2014 menggulingkan pemerintah. Tanggal terakhir ditetapkan pada November, namun pada bulan lalu parlemen yang ditunjuk militer mengubah undang-undang pemilihan umum yang menyebabkan penundaan lebih lanjut.
"Sekarang, saya akan menjawab dengan jelas, pemilihan umum akan berlangsung selambat-lambatnya pada Februari 2019," kata Prayuth, yang mendapat peningkatan tekanan baik di dalam maupun di luar negeri untuk kembali ke pemerintahan sipil, kepada wartawan di Bangkok.
Ratusan orang berbondong-bondong ke Bangkok dalam beberapa pekan belakangan untuk mendesak pemerintahan militer tidak menunda pemungutan suara, beberapa unjuk rasa terbesar menentang penguasa terjadi sejak 2014.
Penundaan pemilu terakhir telah menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap kerangka waktu Prayuth, demikian Phongthep Thepkanjana, seorang mantan wakil perdana menteri dan seorang anggota senior Partai Pheu Thai oposisi yang mewakili keluarga Shinawatra.
Thailand terpecah-belah antara mereka yang mendukung mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra dan adiknya, Yingluck yang pemerintahannya digulingkan dalam kudeta tersebut dan elite di Bangkok. "Saya pikir banyak orang Thailand, seperti saya, tidak lagi berharap pada apa yang dikatakan perdana menteri saat ini," kata Phongthep.
"Penundaan tersebut adalah gejala dari mereka yang berkuasa yang tahu begitu sebuah pemilu berlangsung, mereka tidak lagi memiliki kekuasaan, karena itulah mereka ingin menunda pemilu," katanya.
Namun, pengumuman tersebut memberi kejelasan kepada investor tentang masa depan politik Thailand, menurut Ongart Klampaiboon, wakil pemimpin Partai Demokrat saingan. "Itu akan menciptakan kepercayaan lebih pada orang-orang di negara ini, juga investor asing dan pelaku bisnis yang perlu menilai situasi politik dalam rencana mereka," katanya.
Pada Januari, parlemen memilih untuk memperpanjang waktu hingga 90 hari sejak tanggal dimulai undang-undang baru pemilihan umum. Rancangan undang-undang tersebut menetapkan peraturan untuk pemilu majelis rendah dan merupakan satu dari empat hal yang perlu diberlakukan sebelum pemungutan suara.
Para kritikus mengatakan Prayuth ingin menunda pemungutan suara untuk memastikan militer memiliki peran kunci dalam kehidupan politik. Prayuth telah mengisyaratkan dia ingin tetap berkuasa setelah adanya pemilu, memungkinkan berdasarkan undang-undang yang didukung junta untuk mengizinkan "orang luar" ditunjuk sebagai perdana menteri.
Prayuth harus mengadakan pemilihan pada November, menurut Rangsiman Rome, seorang pemimpin dari Kelompok Restorasi Demokrasi (DRG) yang menyelenggarakan unjuk rasa akhir pekan. "Jika Prayuth ingin turun dengan lancar, harus pada November tahun ini dan tidak ada tanggal lain," tambahnya.
Prayuth memimpin kudeta pada Mei 2014 setelah berbulan-bulan unjuk rasa, yang menggulingkan pemerintahan Yingluck. Baik Thaksin maupun Yingluck mengasingkan diri, setelah lari dari hukuman penjara karena perkara korupsi terpisah.