REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pengungsi Rohingya di kamp pengungsian Balukhali di Bangladesh memberikan pengakuan baru yang cukup mengejutkan. Menurut mereka, tentara-tentara Myanmar banyak menargetkan warga Rohingya yang berpendidikan tinggi, seperti guru dan ulama, dalam aksi pembantaian yang mereka lakukan di Negara Bagian Rakhine.
Setelah serangan brutal pada 25 Agustus tahun lalu, tentara Myanmar di desa Maung Nu sempat bertanya kepada penduduk desa, "Di mana para guru?". Rahim (26 tahun), seorang guru ilmu pengetahuan dan matematika di sekolah menengah batalyon setempat, mengaku segera melarikan diri begitu melihat para tentara itu datang ke desanya.
"Saya tahu saya sudah mati jika tertangkap. Mereka memburu saya. Mereka tahu saya akan selalu berjuang untuk rakyat (Rohingya). Mereka ingin menghancurkan kami (guru) karena mereka tahu tanpa kami, mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan untuk warga Rohingya lainnya," ungkap Rahim, yang hanya memiliki satu nama.
Para pengamat kemudian membandingkan genosida yang terjadi di Myanmar dengan peristiwa genosida lainnya, termasuk Holocaust. Mendengarkan kisah-kisah ini, kedengarannya sangat mirip.
Pertama Anda akan membunuh para pemimpin agama atau pemimpin politik, dan kemudian Anda mulai membunuh penduduk sipil, dan Anda mulai membunuh lebih banyak lagi, kata Karen Jungblut, direktur penelitian di USC Shoah Foundation, yang telah melakukan wawancara dengan pengungsi Rohingya di Bangladesh.
"Ini tampaknya bukan kekerasan regional yang terjadi secara acak di sana-sini, hanya karena Myanmar merasa diserang oleh 'kelompok teroris.' Rasanya hal ini telah terorganisir," ungkap Jungblut.
Thomas MacManus, pengamat kejahatan negara internasional di Queen Mary University of London yang telah meneliti Rohingya sejak 2012, juga menyampaikan pendapatnya. "Tujuannya tampaknya untuk menghancurkan Rohingya, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menghancurkan budaya mereka dan menghapus mereka dari sejarah. Itu bagian dari taktik genosida," papar MacManus.
Kantor Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB juga telah melakukan wawancara dengan 65 pengungsi Rohingya di Bangladesh. Hasil laporannya yang diterbitkan pada September lalu menunjukkan pasukan keamanan Myanmar telah menargetkan guru, pemimpin budaya dan agama, serta orang-orang berpengaruh lainnya di komunitas Rohingya dalam upaya untuk menghapus sejarah, budaya, dan pengetahuan tentang Rohingya.
Penargetan itu terorganisir dengan baik, terkoordinasi, dan dilakukan secara sistematis. Mayoritas umat Buddha telah lama mencela Rohingya dengan menyebutnya sebagai imigran Bengali di Negara Bagian Rakhine utara dan membatasi mereka untuk mempertahankan budaya mereka.
Sebuah laporan Amnesty International pada November lalu mendokumentasikan sistem diskriminasi dan pemisahan bagi Rohingya, yang dimaksudkan untuk menghapus identitas mereka. Sejak pecahnya kekerasan komunal Buddha-Muslim pada 2012, anak-anak Rohingya telah dicegah untuk bersekolah di sekolah Buddhis.
Guru-guru resmi pemerintah juga sering menolak untuk datang ke desa-desa Rohingya karena khawatir akan keamanan di sana. Dengan demikian, sebagian besar pendidikan anak-anak Rohingya diserahkan kepada sekolah komunitas lokal yang dikelola oleh guru sukarelawan yang tidak terlatih.
Guru Rohingya yang diwawancarai oleh AP mengaku mereka hanya dibayar dari sumbangan masyarakat. Mereka juga dilarang mengajar bahasa, sejarah, dan budaya Rohingya, dan harus berbicara bahasa Burma. Banyak juga yang mengatakan mereka bahkan dilarang menggunakan kata 'Rohingya'.
"Guru di sekolah adalah jendela untuk dunia. Mereka mengajari arti dari kata Rohingya. Siapa yang memberi tahu mereka tentang sejarah kami dan tentang berapa lama kami hidup di sana sebagai komunitas? Tentu saja guru," ujar Arif Hossein (31), seorang mantan guru sekolah dasar Khular Bil di Maungdaw.
Sebelum aksi kekerasan kembali terjadi pada 25 Agustus lalu, ia mengaku selalu diikuti seorang informan ketika mengajar. "Saya tidak bisa berbicara (bahasa Rohingya). Informan akan mengikuti saya setiap hari, setiap kali saya meninggalkan rumah. Polisi pemerintah akan datang pada malam hari dan menuduh saya memberikan 'makanan' yang salah kepada para pemberontak dan rumah saya digeledah," ungkap Hossein.
Hossein juga menuturkan ia pernah dipukuli bersama 18 guru Rohingya lainnya dengan tangan terikat dan wajah menghadap tanah pada 2012. Dia kemudian menghabiskan waktu empat tahun di penjara karena tuduhan membakar rumah, dan dibebaskan pada 2016.
Empat hari sebelum kekerasan yang terjadi pada 25 Agustus, dia mengatakan sekitar 300 tentara mengepung rumahnya. Dia diborgol dengan putranya dan dibawa ke sekolah. Tentara menyita apa pun yang mereka pikir mungkin telah digunakan untuk membantu para pemberontak. Putranya ditendang dan dipukuli.