REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sejumlah pejabat tinggi Iran pada Selasa menolak tawaran perundingan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Mereka menyebut tawaran tersebut sebagai penghinaan dan langkah tidak berguna.
Meski menawarkan perundingan, Trump kembali memberlakukan sanksi ekonomi kepada Teheran. Sanksi tersebut mulai berlaku pada Rabu (1/8), usai menarik diri dari kesepakatan nuklir internasional pada Mei lalu.
Secara terpisah, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa mundurnya Trump dari perjanjian nuklir 2015 adalah tindakan ilegal. Rouhani juga menegaskan pihaknya tidak akan mudah menyerah pada upaya Washington mengucilkan Teheran dari pasar minyak internasional.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Qasemi, mengatakan tawaran berunding dari Trump tidak sinkron dengan tindakannya karena Washington tetap memberlakukan sanksi dan bahkan meminta negara-negara lain untuk berhenti berdagang dengan Iran. "Sanksi dan tekanan adalah kebalikan dari dialog," kata Qasemi sebagaimana dikutip kantor berita Fars pada Selasa (31/7).
Sementara itu kepala Dewan Strategis Hubungan Internasional Iran, Kamal Kharrazi, mengatakan tawaran Trump sama sekali tidak berguna. "Berdasarkan pengalaman kami bernegosiasi dengan Amerika dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap komitmen mereka sendiri, maka wajar jika kami menganggap tawaran baru ini tidak berguna," kata Kharrazi, dikutip dari kantor berita Fars.
Di tingkat politik lokal Iran, tawaran berunding dari Trump untuk sementara ini justru menyatukan kelompok garis keras, yang dulunya menentang kesepakatan 2015, dan kubu pragmatis seperti Rouhani yang ingin agar Iran tidak lagi terkucil secara ekonomi dari dunia. Ali Motahari, wakil kepala parlemen Iran yang berasal dari kubu moderat, mengatakan bahwa perundingan dengan Trump akan menjadi penghinaan.
"Jika Trump tidak mundur dari kesepakatan nuklir dan tidak memberlakukan sanksi kepada Iran, maka kita tidak akan keberatan untuk berunding dengan Amerika," kata Motahari kepada kantor berita IRNA.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Iran Abdolreza Rahmani Fazli mengakui pihaknya sudah kehilangan kepercayaan dengan Washington.
Baca juga, AS Siap Temui Iran tanpa Prasyarat
"Amerika Serikat sudah tidak bisa dipercaya. Bagaimana kita bisa mempercayai negara ini saat mereka secara sepihak mundur dari perjanjian nuklir?" kata dia kepada kantor berita Fars.
Dalam perjanjian tahun 2015, Iran diwajibkan untuk menghentikan program pengembangan senjata nuklir mereka dengan imbalan pencabutan sanksi dari PBB dan negara-negara Barat. Trump mengecam kesepakatan itu karena tidak memasukkan program persenjataan rudal Iran dan keterlibatan Teheran dalam sejumlah konflik di Timur Tengah. Setelah menarik diri secara sepihak, Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi yang sempat dicabut dan meminta negara-negara lain berhenti mengimpor minyak dari Iran mulai 4 November mendatang.
Menanggapi situasi tersebut, Rouhani dan sejumlah pejabat militer Iran kemudian mengancam pihaknya akan mengacaukan jalur pengapalan minyak dari negara-negara Teluk yang melewati Selat Hormuz.
Wakil Iran untuk OPEC, Hossein Kazempour Ardebili, mengatakan bahwa Trump salah hitung jika berharap produsen minyak lain seperti Arab Saudi bisa menggantikan pasokan minyak dunia yang hilang dari Iran karena sanksi terhadap Teheran. "Sepertinya Presiden Trump tertipu oleh Arab Saudi dan produsen lain yang mengklaim bisa menggantikan 2,5 juta barel ekspor minyak per hari dari Iran," kata Ardebilli.