Rabu 05 Dec 2018 23:32 WIB

Asa Kebangkitan Wayang Kulit Suriah di Tengah Konflik

Akhir November lalu wayang kulit khas suriah masuk satu dari warisan UNESCO .

Rep: Flori Sidebang / Red: Nashih Nashrullah
Ledakan bom mobil di pinggiran Damaskus terjadi Sabtu (11/6) dan menewaskan 12 orang.
Foto: Reuters
Ledakan bom mobil di pinggiran Damaskus terjadi Sabtu (11/6) dan menewaskan 12 orang.

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Dalang wayang kulit terakhir di Damaskus, Shadi al-Hallaq, kehilangan sebagian besar peralatannya untuk bekerja dan menjalani hidup sebagai pengungsi di Lebanon. 

Tetapi sekarang ia yakin bentuk seni budaya Suriah yang telah lama ada itu memiliki harapan untuk bertahan setelah PBB mengatakan perlu diselamatkan.

Teater bayangan tradisional secara historis menjadi pokok kehidupan kafe di Damaskus, sebagaimana para dalang bercerita menggunakan wayang boneka yang terbuat dari kulit binatang dan dicat untuk menghibur penonton dengan dongeng, sindiran, lagu dan syair.

Pekan lalu, Badan Budaya PBB, UNESCO menambahkan wayang kulit Suriah ke dalam daftar warisan budaya tak benda yang sangat membutuhkan penyelamatan. 

Tercatat penurunan panjangnya dalam menghadapi bentuk-bentuk hiburan modern dan pemindahan yang disebabkan oleh perang.

“Hingga tiga atau lima hari yang lalu, itu (wayang kulit) adalah seni yang tidak bisa mendatangkan roti. Sekarang kami berpikir untuk membeli roti dan makan roti. Saya berharap yang lebih baik,” kata Shadi al-Hallaq.

Ketika ia menjadi dalang di akhir masa remajanya pada 1993, wayang kulit tradisional sudah dilupakan dan keluarganya khawatir ia tidak akan bisa membiayai hidupnya dari pekerjaan itu.

Namun, Hallaq menghidupkan kembali seni dari cerita-cerita lama dan buku-buku sejarah, serta membuat sendiri wayang tersebut. Wayang-wayang itu dibuat dari kulit unta, sapi atau keledai dan masing-masing karakter menjadi ciri sosial tertentu.

Pada pertunjukan baru-baru ini, Hallaq menggunakan layar tembus pandang yang dicat menyerupai lorong di Kota Tua Damaskus. Ia menceritakan kisah tentang pedagang yang tidak bermoral dengan menggunakan dua karakter utama tradisional, yaitu Karakoz yang naif serta Aywaz yang bijaksana dan cerdik.

Kedua wayang kulit ini dikendalikan dengan tongkat dan ditekan di balik layar dengan cahaya yang menyorot dari belakang mereka. Sehingga bayangan wayang kulit diproyeksikan di atasnya.

Pada awal perang, Hallaq kehilangan set teater mobile-nya dan 23 karakter wayang kulit buatan tangannya di Ghouta timur, tepat di luar Damaskus, ketika konflik terjadi.

Dia kemudian mengungsi dari pertempuran iti, melintasi perbatasan ke Lebanon, di sana ia bekerja selama dua tahun sebagai buruh.

Sementara berada di sana ia kadang-kadang melakukan pertunjukan untuk anak-anak sekolah Suriah dan selama acara semacam itu pejabat UNESCO pertama kali melihatnya.

Saat ini, setelah kembali ke Damaskus, ia akan mulai mengajar sekelompok dalang dengan jumlah besar dalam waktu sekitar enam bulan.

Hal itu dilakukan untuk memastikan seni budaya tersebut dapat bertahan, kata seorang pejabat budaya Suriah, Rasha Barhoum.

"Saya bisa membayangkan betapa bahagianya orang akan melihat seni ini bertahan dan tidak hilang karena itu adalah bagian dari warisan kita dan budaya kita," kata Hallaq.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement