Selasa 03 Sep 2019 09:49 WIB

Taliban Mengaku Dalang Bom Mobil Kabul

Serangan bom terjadi setelah ada kesepakatan AS tarik 5.000 tentara.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Bangkai mobil yang terbakar akibat ledakan bom di Kabul, Afghanistan.
Foto: Reuters
Bangkai mobil yang terbakar akibat ledakan bom di Kabul, Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Taliban mengklaim bertanggung jawab atas ledakan besar di ibu kota Afghanistan, Kabul, Senin (2/9) malam. Peristiwa ini terjadi hanya beberapa jam setelah seorang utusan Amerika Serikat (AS) memberitahu pemerintah Afghanistan tentang kesepakatan dengan kelompok pemberontak, yakni 5.000 tentara akan AS meninggalkan negara itu.

Pejabat kementerian dalam negeri lainnya, Bahar Maher mengatakan kepada saluran berita Tolo, ledakan itu disebabkan oleh bom mobil. "Itu adalah ledakan yang mengerikan," kata seorang saksi mata, Wali Jan.

Baca Juga

Juru bicara kementerian dalam negeri, Nasrat Rahmi mengatakan, setidaknya lima warga sipil tewas dan sekitar 50 lainnya luka-luka. Akan tetapi menyampaikan jumlah korban masih bisa bertambah karena sejumlah rumah hancur.

Dia membenarkan sasaran ledakan itu merupakan kompleks Green Village yang menampung beberapa organisasi internasional dan penginapan. Ledakan menyebabkan gumpalan asap ke langit di atas Kabul dan menyebabkan pompa bensin terdekat terbakar.

Salah satu direktur rumah sakit, Nezamuddin Jalil mengatakan, yang terluka termasuk wanita dan anak-anak. Video Associated Press menunjukkan orang-orang dengan darah mengalir pergi ke rumah sakit setempat.

Ledakan itu terjadi pada menit-menit terakhir wawancara televisi nasional dengan utusan AS Zalmay Khalilzad tentang arti kesepakatan AS-Taliban bagi masa depan Afghanistan. Sebelumnya, Khalilzad menunjukkan rancangan kesepakatan kepada presiden Afghanistan setelah menyatakan mereka berada di ambang perjanjian, usai berakhirnya putaran kesembilan pembicaraan AS-Taliban di Qatar. Perjanjian tersebut masih membutuhkan persetujuan dari Presiden AS Donald Trump.

Trump pekan lalu mengatakan kepada Fox News AS berencana mengurangi kehadiran pasukannya menjadi 8.600. Dia bersemangat menarik pasukan sebelum pemilihan presiden 2020, dan rancangan kesepakatan memenuhi tenggat waktu itu.

Pengurangan itu akan membawa tingkat pasukan turun di mana mereka berada ketika Trump berkuasa pada Januari 2017. Penarikan pasukan lebih lanjut diperkirakan akan tergantung pada kondisi pertemuan kesepakatan Taliban, termasuk pengurangan kekerasan. Warga Kabul mempertanyakan perihal perjanjian dengan Taliban apakah dapat dipercaya, terutama saat pasukan asing menarik diri.

Taliban berada pada posisi terkuat mereka sejak invasi pimpinan AS untuk menggulingkan pemerintah mereka setelah serangan 9-11 di Amerika, dan sekarang mengendalikan atau menguasai sekitar setengah negara. Gerilyawan menginginkan semua pasukan AS dan NATO diperkirakan berjumlah 20 ribu orang meninggalkan Afghanistan, dan menggambarkan kepergian mereka sebagai kemenangan.

Sementara AS mencari jaminan Taliban, Afghanistan tidak akan menjadi tempat yang aman bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk meluncurkan serangan teror global. "Kami telah mencapai kesepakatan dengan Taliban pada prinsipnya tetapi tentu saja sampai presiden AS menyetujuinya, itu belum final," ucap Khalilzad mengatakan kepada berita Tolo.

Ia mengatakan, dalam kesepakatan itu 5.000 tentara AS pertama akan mundur dalam waktu 135 hari dari lima pangkalan di Afghanistan. Sebanyak 14-13 ribu tentara AS berada di negara itu.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement