Selasa 29 Oct 2019 09:10 WIB

Rela Ganti Profesi Tanpa Gengsi Demi Mendapat Pekerjaan di Australia

Saat pindah ke Sydney dari Jakarta, mereka memilih mengemudikan bus.

Red:
.
.

Baca dalam Bahasa Inggris disini

Kisah-kisah seperti ini mungkin Anda pernah dengar sebelumnya.

Baca Juga

  • Sejumlah pendatang ke Australia bahagia meninggalkan kerja kantoran demi tingkatkan kualitas hidup
  • Tapi seringkali dianggap remeh dan memalukan karena adanya gengsi pada pekerjaan tertentu
  • Anak-anak dari orang tua yang bekerja dengan keahlian rendah memiliki ketakutan sosial

 

Meski memiliki kualifikasi dan pengalaman pekerjaan yang bergengsi di negara asalnya, banyak pendatang di Australia mendapat upah yang rendah dan ketidakpastian pekerjaan setibanya di Australia.

Salah satu alasannya karena kualifikasi mereka tidak sesuai dengan standar di Australia.

Menjadi sebuah kenyataan pahit bagi mereka yang sudah kuliah selama bertahun-tahun dengan keluar uang banyak di negara asal, lalu tak mendapatkan apa-apa di negara baru.

Tapi bagi sebagian pendatang, justru menjadi kesempatan untuk melepaskan diri dari belenggu tekanan pekerjaan kantoran dan mereka malah menikmatinya.

Edwin dan Rita Kusuma, pendatang asal Indonesia adalah diantaranya.

Saat pindah ke Sydney dari Jakarta, mereka memilih mengemudikan bus ketimbang mengikuti jam kantoran.

 

Sebelumnya, Edwin bekerja sebagai staf IT di Bank Indonesia selama delapan tahun dan Rita adalah seorang kepala keuangan di sebuah perusahaan distribusi listrik.

Bagi Rita, menjadi sopir bus di Sydney memberinya kebebasan yang tidak bisa dirasakan oleh pekerja kantoran biasa, karena jam kerja yang fleksibel dan lebih banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan keluarganya.

Kepada ABC Indonesia, ia mengatakan sekarang tidak harus lagi membawa pekerjaan kantor ke rumah atau bekerja lebih lama tanpa bayaran.

"Hal-hal yang membuat kami berpikir pekerjaan ini menyenangkan adalah karena santai"

Tapi pergantian profesi Rita mendapat reaksi dari teman-teman dan anggota keluarga mereka di Indonesia.

Ia mengaku beberapa anggota keluarganya "terkejut" dengan pilihannya, bahkan ada pula yang "meremehkan" pekerjaan sopir bus karena dianggap sebagai "pekerjaan yang memalukan leluhur".

'Penasaran tak membuat saya gengsi'

 

Lan Anh Hoang, seorang dosen studi pembangunan di University of Melbourne mengatakan sejumlah pekerjaan dianggap "memalukan" di kalangan masyarakat Asia, karena adanya anggapan kesuksesan seseorang akan mempengaruhi seluruh sanak keluarga.

"Mungkin mereka mengharapkan keuntungan ekonomi dari saudaranya yang sukses di Australia, tapi menjadi sebuah status, membawa kehormatan dan gengsi untuk keluarga," katanya.

Ia menjelaskan pekerjaan lebih dianggap bergengsi jika secara ekonomi lebih stabil, seperti insinyur, akuntan, atau pebisnis.

Anh Do, seorang warga Australia keturunan Vietnam, yang bekerja sebagai seniman serba bisa memiliki pengalaman lain.

Meski ia telah menjadi bintang di ABC lewat program 'Anh's Brush with Fame', komunitasnya menganggap pekerjaannya tidaklah biasa.

Keluarga Lan Anh sendiri menganggap karir putrinya di bidang akademik tidak sesuai dengan keinginan keluarganya, karena studi pembangunan "berpenghasilan sedikit".

Padahal ia memiliki gelar Master dan PhD studi pembangunan dari University of East Anglia di Inggris.

 

Roydeh Lingkum adalah migran lainnya yang harus mengabaikan kritik dari keluarga dan teman-temannya saat berganti karir.

Sebelum bekerja di pabrik roti di kota Melbourne, pria berusia 29 tahun ini bekerja sebagai supervisor perawatan lalu lintas di Sabah, Malaysia.

Kepada ABC ia mengatakan tidak memperdulikan komentar-komentar negatif dari keluarganya di Malaysia dan memilih fokus agar bisa terus mengembangkan karirnya.

"Saya tak peduli dengan apa yang dikatakan orang, selagi saya masih bisa mandiri," ujarnya.

"Rasa penasaran soal pekerjaan dan kesempatan di Australia telah membuat saya berhenti memikirkan masalah gengsi."

Sebenarnya tak banyak orang yang mengkritik pekerjaannya di pabrik roti, selain keluarganya sendiri, karena upah di Australia lebih tinggi dibandingkan upah pekerjaan sejenis di Malaysia.

"Di Sabah, saya rasa asalkan bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak peduli dengan apa yang kita kerjakan," ujarnya.

Keahlian sebelumnya tak diakui?

 

Di saat ada pendatang yang senang-senang saja dengan pekerjaan yang tak terlalu butuh keahlian tinggi, ada pula yang kurang memiliki keahlian sehingga harus beralih ke pekerjaan lain.

Lina Cabaero adalah koordinator di Asian Women at Work (AWatW), lembaga non-profit yang mengkampanyekan peningkatan kondisi kerja di Australia, khususnya di kalangan pekerja perempuan asal Asia.

Kepada ABC ia mengatakan ada sejumlah orang di tempat kerjanya yang terpaksa menurunkan keahlian mereka saat tiba di Australia.

"Saya menyebutnya turun peringkat," kata Lina.

Seperti salah satu rekannya, seorang dokter asal China, yang bisa berbahasa Rusia dan Mandarin, tapi karena kemampuan bahasa Inggrisnya rendah ia menjadi pekerja industri pakaian.

Anggota AWatW lainnya, Sophie, mengaku pernah menjadi perancang mesin di China, tapi karena kendala bahasa, ia terpaksa menjadi pekerja buruh pabrik dan pembersih hotel saat tiba di Australia.

Sophie mengaku tidak pernah bekerja "buruh kasar" sebelumnya, tapi "tak punya pilihan lain" karena sekarang memiliki keluarga.

Menurut Lina, pemerintah Australia kerap "tidak terlalu mengakui" kemampuan yang dimiliki seseorang saat pindah ke Australia, khususnya lewat jalur visa pasangan atau keluarga.

Kementerian Pekerjaan, Keahlian, dan Usaha Kecil dan Keluarga Australia kepada ABC mengatakan pemerintah "lebih fokus pada program migrasi yang disponsori perusahaan, dimana pekerjaan pemohon visa sesuai dengan persyaratan saat visa disetujui."

Pekerjaan bergengsi tidaklah penting

 

Bagi pendatang yang tidak mendapat pekerjaan sesuai pengalaman dan keahlian, harus memulai pekerjaan baru dari bawah yang bisa berdampak bagi anak-anak mereka, khususnya jika dilahirkan di Australia.

Sensus dari Multicultural Youth Australia dari University of Melbourne, yang bertanya pada 1.920 pemuda berusia 15-25 tahun, menemukan kekhawatiran utama mereka jika orangtuanya bekerja dengan keahlian rendah adalah soal 'mobilitas sosial'.

"Orang tua saya tidak terlalu mapan disini dan tidak banyak orang yang mereka kenal. Karena keduanya memiliki pekerjaan yang relatif 'rendahan', seperti kerja di pabrik atau paruh waktu di restoran atau hotel, menjadi susah untuk kami cari tahu bagaimana cara cari kerja," ujar salah satu responden.

Responden lain mengatakan dengan latar belakang pendatang, kesempatan kerja mereka menjadi kurang dibandingkan teman-temannya yang sudah memiliki kemapanan.

Tapi menurut Rita Gunawan, menjadi sopir bus tetap memberikan jaminan kepada anak-anaknya untuk dapat "mewujudkan mimpi mereka tanpa tekanan".

Rita mengatakan keluarga dan sanak saudaranya di Indonesia tidak tahu jika Australia tetap menyediakan pekerjaan berkualitas tinggi, tanpa harus prestasi akademis.

"Saya berpikir begini, apalah artinya jabatan dan posisi, jika hampir tak memiliki waktu untuk keluarga dan orang tua?"

Artikelnya dalam bahasa Inggris bisa dibaca disini.

Baca artikelnya dalam Bahasa Inggris disini

Survei Nasional 'Australia Talks' bertanya kepada mereka yang tinggal di Australia soal kehidupan dan apa yang selalu ada dalam pikiran mereka. Anda yang tinggal di Australia bisa ikut serta dalam survei ini lewat halaman interaktif berikut.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement