REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengapresiasi peran dan upaya yang dilakukan Kuwait untuk menyelesaikan krisis Teluk. Dia pun menyampaikan terima kasih atas dukungan Amerika Serikat (AS) dalam proses penyelesaian krisis tersebut.
"Kami sangat menghargai upaya yang dilakukan negara saudara, Kuwait untuk menjembatani kesenjangan dalam sudut pandang mengenai krisis Teluk, dan kami berterima kasih atas upaya Amerika dalam hal ini, dan kami berharap hal itu berhasil demi kebaikan negara-negara di kawasan," kata Pangeran Faisal melalui akun Twitter pribadinya pada Jumat (4/12) dikutip laman Al Arabiya.
Menurut dia, berkat peran Kuwait terdapat beberapa kemajuan dalam upaya penyelesaian krisis Teluk. Pangeran Faisal mengatakan pemerintahan Presiden AS Donald Trump juga membantu mendekatkan para pihak terkait. Ia berharap kemajuan itu akan mengarah pada kesepakatan akhir.
"Saya agak optimistis bahwa kami hampir menyelesaikan kesepakatan antara semua negara dalam sengketa untuk mencapai resolusi yang kami pikir akan memuaskan semua," kata Pangeran Faisal selama partisipasinya di Rome Med 2020.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Ahmad Nasser al-Sabah mengatakan, telah terjadi kemajuan dalam upaya penyelesaian krisis Teluk. "Diskusi yang bermanfaat telah terjadi baru-baru ini di mana semua pihak menyatakan keinginan mereka untuk mencapai kesepakatan akhir," ujarnya.
Krisis Teluk telah berlangsung sejak Juni 2017. Hal itu bermula saat Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir menuding Qatar mendukung kegiatan terorisme dan ekstremisme di kawasan.
Doha dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Kendati telah menyanggah, Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA tetap memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Keempat negara itu juga memboikot dan memblokade seluruh akses ke Doha.
Saudi serta sekutunya kemudian mengajukan 12 tuntutan kepada Qatar. Tuntutan itu antara lain meminta Qatar menurunkan hubungan diplomatik dengan Iran dan menutup media Aljazirah. Doha juga diminta menutup pangkalan militer Turki di negaranya.
Jika menginginkan boikot dan blokade dicabut, Qatar harus memenuhi semua tuntutan tersebut. Namun Qatar menolak melakukannya karena menganggap semua tuntutan tak masuk akal. Akibat sikap tersebut, Qatar terkucil hingga kini.