Menurut WHO, suami atau pasangan adalah pelaku yang paling umum dan jumlah korban yang tidak proporsional berada di negara-negara termiskin. Sebanyak satu dari empat perempuan menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh pasangan. Bahkan, pelecehan kadang-kadang dimulai pada usia yang sangat muda, yaitu 15 tahun.
Negara-negara dengan prevalensi perempuan tertinggi yang menghadapi kekerasan termasuk Kiribati, Fiji, Papua Nugini, Bangladesh, Republik Demokratik Kongo, dan Afghanistan. Sedangkan terendah terjadi di Eropa, hingga 23 persen.
Angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi karena pelaporan pelecehan seksual yang masih sangat kurang. Peneliti terlibat dalam studi tersebut, Heidi Stoeckl, menyoroti fakta bahwa angka-angka tersebut tidak berubah selama satu dekade terakhir.
"Sayangnya mereka tetap sama," direktur Pusat Kesehatan dan Kekerasan Gender di London School of Hygiene and Tropical Medicine ini.
Sementara Stoeckl mengakui adanya peningkatan kesadaran masyarakat tentang masalah kekerasan gender, dia menggarisbawahi kurangnya tindakan pemerintah untuk mengimplementasikan program-program yang mencegahnya. “Jadi adalah (masalah) komitmen politik dan (pengambilan) keputusan untuk menggunakan sumber daya keuangan untuk mendukung gerakan perempuan dan untuk benar-benar mengubah undang-undang dan meningkatkan kesetaraan gender,” katanya.