Dalam kasus lain, Fortify Rights mengatakan tentara Myanmar menggunakan seorang pria berusia 18 tahun, dan dua pria lainnya sebagai perisai manusia selama bentrokan dengan pejuang dari Pasukan Pertahanan Rakyat Karenni (PDF) di Kotapraja Moe Bye yang berbatasan dengan negara bagian Shan. Fortify Rights mengatakan, tiga dari pria itu akhirnya melarikan diri.
"Para prajurit meletakkan senjata mereka di pundak kami dan menembak PDF. Kami terus diikat dan ditutup matanya. Kami banyak disiksa. Mereka menendang tubuh kami, memukul kepala kami dengan gagang senjata, dan masih banyak lagi," ujar kesaksian pria itu.
Para jenderal telah menggunakan kekerasan dalam upaya untuk meletakkan oposisi publik terhadap kekuasaannya. Mereka menindak aksi protes dan meningkatkan serangan terhadap milisi sipil anti-kudeta.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, setidaknya 1.549 orang telah tewas sejak junta militer melakukan kudeta pada Februari tahun lalu. Selain itu, lebih dari 12 ribu orang telah ditangkap.
Fortify Rights mengatakan, pemimpin kudeta Jenderal Min Aung Hlaing dan pasukannya mengklaim memerangi teroris. Namun sebaliknya, pasukan mereka melakukan kejahatan kekejaman massal terhadap penduduk sipil dengan impunitas penuh.
Fortify Rights mengatakan embargo senjata global yang dipimpin PBB untuk melarang penjualan senjata dan teknologi penggunaan ganda kepada pasukan keamanan sangat penting. Menurut laporan kelompok itu, PBB harus menjatuhkan sanksi tambahan untuk menolak akses militer ke sumber dana, pendapatan yang paling signifikan dari penjualan gas alam.