REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Mendiang mantan presiden Pakistan Pervez Musharraf mengawasi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan berusaha mengantarkan nilai-nilai sosial liberal di kalangan konservatif. Musharraf menikmati dukungan kuat dari Amerika Serikat (AS) di tengah ancaman Alqaeda dan kelompok ekstremis militan lain yang mencoba membunuhnya setidaknya tiga kali.
Musharraf mengerahkan kekuatan militer yang berat untuk memadamkan perbedaan pendapat serta dukungannya yang terus menerus kepada Amerika Serikat dalam perjuangannya melawan Alqaeda dan Taliban Afganistan. Pada tahun-tahun awalnya di pemerintahan, Musharraf mendapat pujian internasional atas upaya reformisnya, yang mendorong undang-undang untuk melindungi hak-hak perempuan termasuk mengizinkan saluran berita swasta beroperasi untuk pertama kalinya.
Kegemaran Musharraf pada cerutu dan wiski impor serta seruannya agar umat Islam mengadopsi gaya hidup "moderasi yang tercerahkan", meningkatkan daya tariknya di Barat setelah peristiwa serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat. Dia menjadi salah satu sekutu terpenting Washington setelah serangan itu. Hal ini memungkinkan pasukan AS untuk mengoperasikan drone bersenjata dari pangkalan rahasia di tanah Pakistan, yang menewaskan ribuan orang. Musharraf juga memerintahkan pasukan domestik ke wilayah suku tanpa hukum di sepanjang perbatasan Afghanistan untuk pertama kalinya dalam sejarah Pakistan.
Langkah Musharraf ini melegitimasi kekuasaannya di luar negeri. Tetapi di sisi lain, juga membantu menjerumuskan Pakistan ke dalam perang berdarah melawan kelompok militan ekstremis lokal.
Dalam sebuah memoar pada 2006, Musharraf dipuji karena telah menyelamatkan Pakistan dari kemarahan Amerika Serikat. Musharraf juga berhasil melobi Presiden George W. Bush saat itu untuk menggelontorkan uang ke militer Pakistan. Namun tetap saja, kesetiaan tentara tidak pernah jelas. Dinas intelijen Pakistan memutuskan kesepakatan dengan Taliban dan Alqaeda, serta mendukung pemberontakan melawan pasukan AS di Afganistan.
Di bidang kebijakan luar negeri lainnya, Musharraf berusaha menormalkan hubungan antara New Delhi dan Islamabad. Pada KTT regional tahun 2002, kurang dari tiga tahun setelah meluncurkan operasi militer melawan India, Musharraf mengejutkan dunia. Setelah menyampaikan pidatonya, dia tiba-tiba bergerak ke arah Perdana Menteri India Atal Bihari Vajpayee untuk berjabat tangan dan menawarkan pembicaraan perdamaian.
Analis mengatakan, masalah Kashmir yang tetap menjadi titik pertikaian paling kuat antara India dan Pakistan hampir diselesaikan selama era Musharraf. Tetapi proses perdamaian gagal setelah pemerintahannya lengser.
Di bawah pemerintahan Musharraf, investasi asing berkembang pesat dan Pakistan mengalami pertumbuhan ekonomi tahunan sebanyak 7,5 persen. Menurut Bank Dunia, ini menjadi pertumbuhan tingkat tertinggi dalam hampir tiga dekade.
Namun tahun-tahun terakhir masa kepresidenan Musharraf dibayangi oleh pemerintahannya yang semakin otoriter. Pada 2006, Musharraf memerintahkan aksi militer yang menewaskan seorang kepala suku dari provinsi Balochistan. Langkah ini meletakkan dasar pemberontakan bersenjata yang masih berlangsung hingga hari ini.
Tahun berikutnya, lebih dari seratus mahasiswa yang menyerukan pemberlakuan hukum Syariah tewas setelah Musharraf menghindari negosiasi dan memerintahkan tentara menyerbu sebuah masjid di Islamabad. Hal itu menyebabkan lahirnya kelompok militan baru, Tehreek-e-Taliban Pakistan, yang telah menewaskan puluhan ribu orang dalam serangan bom bunuh diri dan serangan lainnya.
Kemudian pada 2007, serangan bunuh diri yang membunuh pemimpin oposisi Benazir Bhutto memicu gelombang kekerasan. Upaya Musharraf untuk memperkuat peradilan juga menyebabkan protes. Musharraf menunda pemilu dan mengumumkan keadaan darurat.
Pada 2008, pemilihan demokratis pertama digelar di Pakistan dalam 11 tahun. Partai Musharraf kalah dan menghadapi pemakzulan oleh parlemen. Dia kemudian mengundurkan diri dari kursi kepresidenan dan melarikan diri ke London.
Musharraf kembali ke Pakistan pada 2013 untuk mencalonkan diri di parlemen tetapi langsung didiskualifikasi. Dia diizinkan berangkat ke Dubai pada 2016.
Pada 2019, pengadilan menjatuhkan hukuman mati in absentia atas penerapan aturan darurat pada 2007. Tetapi putusan tersebut dibatalkan.
Musharraf lahir di New Delhi pada 1943. Dia berusia empat tahun ketika orang tuanya bergabung dengan eksodus massal umat Islam ke negara bagian Pakistan yang baru dibentuk.
Ayah Musharraf bertugas di Kementerian Luar Negeri, sedangkan ibunya adalah seorang guru. Keluarga Musharraf menganut Islam yang moderat dan toleran.
Musharraf bergabung dengan tentara pada usia 18 tahun. Dia kemudian memimpin unit komando elit sebelum naik menjadi komandan.
Musharraf mengambil alih kekuasaan dengan menggulingkan perdana menteri saat itu, Nawaz Sharif. Ketika itu, Sharif telah mencoba memecat Musharraf, karena memberi lampu hijau operasi untuk menyerang wilayah Kashmir yang dikuasai India. Langkah ini membawa Pakistan dan India ke ambang perang.