Kamis 16 Feb 2023 00:25 WIB

Gempa Menambah Penderitaan Perang Bagi Perempuan Suriah

Selama konflik, perempuan Suriah telah kehabisan strategi untuk bertahan hidup.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Para pelayat mengubur anggota keluarga yang meninggal dalam gempa dahsyat yang mengguncang Suriah dan Turki di sebuah pemakaman di kota Jinderis, provinsi Aleppo, Suriah, Selasa (7/2/2023).
Foto:

Di wilayah yang dikuasai oposisi, 90 persen populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan. Tidak ada pekerjaan untuk laki-laki, dan banyak laki-laki yang cacat dalam perang, katanya.  Beberapa wanita menemukan pekerjaan dalam pelayanan masyarakat.

 

Ada juga perempuan yang mengerjakan kerajinan rumah tangga seperti membuat sabun atau menjahit baju. Selain itu, terdapat ratusan sukarelawan pertahanan sipil wanita. Banyak di antaranya berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam misi penyelamatan dan pencarian.

Namun dalam komunitas yang sebagian besar konservatif, yang didominasi oleh kelompok yang pernah berafiliasi dengan Alqaeda, pekerjaan untuk perempuan tidak mudah didapat. Halima, seorang ibu dua anak berusia 30 tahun, kehilangan suaminya di masa-masa awal perang. 

Selama bertahun-tahun, dia telah pindah di antara tempat penampungan bagi para pengungsi di barat laut untuk mencari keranjang makanan sumbangan. Gempa menyebabkan retakan di tempat dia tinggal saat ini dan dia takut untuk tinggal di sana. Tetapi dia tidak punya tempat lain untuk pergi.

“Saya berdoa untuk rahmat Tuhan.  Mungkin seseorang bisa menjaga anak-anak saya,” kata Halima pada Ahad (12/2/2023) ketika dia mengambil pakaian yang disumbangkan di gudang Bulan Sabit Merah Turki.

Sentimen telah terbangun selama beberapa waktu. Bantuan kemanusiaan ke Suriah termasuk yang terbaik yang didanai oleh para donor. Tetapi kesenjangan antara pendanaan dan kebutuhan telah meningkat.

Seruan PBB untuk tanggap darurat, tidak terpenuhi sekitar lebih dari 50 persen. Pada 2021, sektor kesehatan di Suriah barat laut kekurangan dana sebesar 60 persen, atau hanya terpenuhi 6,4 juta dolar AS dari total kebutuhan 23,3 juta dolar AS.

Selama bertahun-tahun konflik, perempuan Suriah telah kehabisan strategi untuk bertahan hidup. Bencana alam adalah hal terakhir yang mereka persiapkan.

“Kami lelah. Selama 12 tahun, kami tidak tidur semalaman karena takut terhadal pengeboman, serangan udara, atau pemindahan.  Sekarang kami memiliki perpindahan abadi. Kita hidup dalam tragedi dari semua tragedi," ujar Ayesha.

Saat gempa terjadi, rumah sakit tidak hanya rusak akibat gempa tetapi juga kewalahan dengan korban luka dan korban jiwa, dan persediaan peralatan darurat yang penting hampir habis.  Rumah sakit bersalin dibanjiri persalinan dini dan komplikasi kehamilan.

“Para ibu masih hidup di jalanan. Kami tidak memiliki cukup inkubator untuk pengiriman awal.  Situasinya jauh dari stabil," ujar Direktur rumah sakit bersalin di Atareb, Ikram Haboush.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement