Kamis 16 Feb 2023 01:25 WIB

Jelang Setahun Perang Ukraina-Rusia, Bakal Berakhir Damai Atau Makin Meluas?

Perang Ukraina menjadi lahan bisnis rekonstruksi pascaperang.

File -- Prajurit Ukraina menembak ke arah posisi Rusia di garis depan dekat Kherson, Ukraina selatan, Rabu, 23 November 2022.
Foto:

Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa Ukraina sudah bukan lagi medan perang, namun juga dianggap kavling kepentingan dan ruang pamer alat-alat perang canggih, termasuk Iran dan Turki yang turut menggunakan Ukraina sebagai tempat menguji pesawat tak berawak buatan mereka.

November tahun lalu surat kabar terkemuka New York Times bahkan menyebut militer Barat, khususnya AS, sudah menganggap Ukraina tempat uji teknologi militer terbaru dan laboratorium untuk sistem persenjataan dan informasi perang, yang dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan konfrontasi terbuka dengan China.

Negara netral jadi penengah

Perang Ukraina juga menjadi lahan bisnis rekonstruksi pascaperang. Saat ini saja, lembaga-lembaga keuangan raksasa seperti JPMorgan dan Goldman Sachs menjadi calon penyandang dana untuk proses rekonstruksi Ukraina jika perang ini selesai.

Tak heran keadaan yang sudah melibatkan begitu banyak kepentingan ini membuat upaya mediasi bagi pengakhiran perang pun menjadi sulit dilakukan. Tidak saja karena harus menghadapi para pemuja perang dalam elite kekuasaan Ukraina dan Rusia, tapi juga elemen-elemen Barat yang menginginkan perang harus berakhir dengan kekalahan menyeluruh di pihak Rusia, salah satunya kelompok neokonservatif di Amerika Serikat.

Mereka ditengarai acap mencegat dan mematikan prakarsa damai, termasuk yang digagas Israel dan Turki.

Mantan perdana menteri Israel Naftali Bennett mengungkapkan bahwa mediasi yang dilakukan negaranya saat awal konflik Rusia-Ukraina sebenarnya sudah mencapai kemajuan, tetapi proses itu dimatikan AS dan sekutu-sekutunya.

Pun dengan prakarsa damai yang digagas Turki pada Maret tahun lalu yang juga mencapai kemajuan, apalagi saat itu Ukraina menyatakan bersedia menerima permintaan Rusia untuk netral menyangkut NATO dan bersedia menyelesaikan masalah Donbas dan Krimea.

Tetapi prakarsa itu terjegal karena AS diduga menekan Ukraina agar tidak berkompromi dengan Rusia. Perang pun semakin berlarut-larut sehingga sudah sangat sulit mengajak semua pihak untuk mundur dari posisinya masing-masing. Tidak Ukraina, tidak pula Rusia, pun tidak AS dan Eropa.

Sudah terlalu banyak ongkos perang yang dikeluarkan baik Ukraina dan Rusia, maupun Uni Eropa dan Amerika Serikat. Konsesi-konsesi pun semakin mahal sehingga untuk masuk duduk di meja perundingan pun semakin sulit.

Apalagi semua pihak yang bersengketa berpandangan perundingan hanya tercipta lewat supremasi perang, seperti diutarakan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg bahwa "senjata adalah cara untuk mencapai perdamaian."

Ini kian menegaskan situasi perang di Ukraina sudah semakin menutup pintu perundingan. Bayangkan, jika tank dan pesawat tempur NATO dikerahkan di Ukraina, maka Rusia bisa memperluas konflik jauh dari sekadar Ukraina.

Untuk itu, keadaan ini mesti dicegah. Namun, dunia membutuhkan penengah yang benar-benar tidak berpihak baik kepada Rusia maupun Ukraina.

Ekonom Jeffrey Sachs yang turut merancang rekonstruksi Eropa timur pasca Perang Dingin, menyebut negara-negara netral seperti Argentina, Brazil, China, India, Indonesia dan Afrika Selatan, bisa menjadi penengah karena sikap mereka yang tidak anti Rusia, tapi juga tidak anti Ukraina.

Negara-negara itu menolak pendudukan Rusia di Ukraina, tapi juga menolak perluasan NATO ke timur Eropa. Ini membuat posisi mereka ideal dalam membantu menemukan solusi yang adil, langgeng dan menyeluruh bagi pihak-pihak yang berperang sehingga siklus kekerasan yang sudah begitu membahayakan dunia ini bisa segera diakhiri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement