REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Petugas penegak hukum Pakistan membawa surat perintah penahanan ke kediaman mantan Perdana Menteri Imran Khan. Ia didakwa atas kasus pembelian dan penjualan hadiah. Penangkapan ini masalah hukum terbaru yang dihadapi mantan atlet kriket itu.
Dikutip dari Aljazirah, Senin (6/3/2023) Khan menghindari penangkapan saat petugas tiba di rumahnya di Lahore. Inspektur polisi pun mendatangi kamarnya tapi pria 70 tahun itu sudah tidak ada di sana.
Sejak Khan diturunkan pada April 2022 lalu Partai Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) yang ia pimpin menghadapi 70 dakwaan. Termasuk penghasutan, korupsi dan terorisme. Khan membantah semua dakwaan terhadapnya.
Salah satu kasus besar yang menimpa Khan adalah yang dilaporkan anggota partai berkuasa Pakistan Muslim League Nawaz (PML-N) bulan Agustus tahun lalu. Khan dituduh membeli hadiah untuk diberikan pada perwakilan luar negeri dari penyimpanan hadiah negara yang disebut Toshakhana tapi tidak mengungkapkan asetnya dalam deklarasi yang diberikan ke Komisi Pemilihan Pakistan.
Khan membantah tuduhan itu dengan mengatakan ia membeli hadiah sesuai dengan peraturan dan pedoman resmi dan mendeklarasikannya dalam pajak pengembaliannya. Dua bulan kemudian Komisi Pemilihan Umum menangguhkan Khan dari parlemen dengan tuduhan 'praktik korupsi.'
Tim hukum Khan menolak keputusan komisi dengan mengatakan putusan itu tidak hanya menyerang klien mereka tapi juga 'rakyat dan konstitusi Pakistan'.
Pada bulan Agustus lalu Khan juga didakwa pasal terorisme atas pidatonya di Islamabad. Ia menyerang perwira polisi dan hakim perempuan yang memerintahkan penangkapan salah satu pembantu terdekatnya Shabaz Gill yang dituduh melakukan penyiksaan.
Dalam pidato itui Khan dituduh mengancam mengambil tindakan dengan mengambil jalur hukum terhadap perwira polisi Islamabad dan Hakim Zeba Chaudhry. Pada bulan September Pengadilan Tinggi Islamabad menolak dakwaan terhadapnya dengan mengatakan pernyataan Khan tidak masuk tingkat 'terorisme'.
Di bulan yang sama Komisi Pemilihan Umum menuduh Khan dan partainya menerima dana ilegal. Tuduhan ini dapat membuat mantan bintang kriket dan PTI dilarang berpolitik.
Dalam kasus yang berlarut-larut selama delapan tahun, PTI dituduh menerima dana dari luar negeri, hal itu melanggar undang-undang di Pakistan. PTI membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan semua dana mereka berasal dari warga negara Pakistan.
Semua masalah hukum yang dihadapi Khan berawal ketika ia dipaksa mundur sebagai perdana menteri bulan April tahun lalu. Koalisi Pakistan Democratic Movement yang terdiri dari 10 partai memutuskan mosi tidak percaya setelah Khan berkuasa selama tiga setengah tahun.
Langkah parlemen ini menempatkan Khan masuk daftar perdana menteri Pakistan yang gagal menyelesaikan seluruh masa jabatannya. Tidak ada perdana menteri yang berhasil menyelesaikan masa tugasnya sejak negara itu merdeka tahun 1947.
Sejak itu Khan menggelar unjuk rasa untuk mendorong pemilihan umum lebih awal yang paling lambat digelar bulan Oktober. Ia juga mundur dari parlemen dan membubarkan dua parlemen di dua provinsi yang dikuasai partainya.
Ia mengklaim Amerika Serikat (AS) merupakan dalang yang memaksanya untuk mundur. Konspirasi yang juga melibatkan militer yang berpengaruh dan lawan-lawan politiknya.