REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan bahwa Moskow tidak akan membiarkan penyelidikan nasional atas ledakan yang merusak pipa gas Nord Stream 'lepas kendali'. Berbicara dalam konferensi pers dengan Menlu Nikaragua Denis Moncada di Moskow, Kamis (30/3/2023), Lavrov mengatakan Rusia menyadari kemampuan Barat untuk berbohong dan ketidakmampuan untuk bernegosiasi.
Menurut dia, negara-negara Barat di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bertindak dengan cara tertentu dan sebuah penyelidikan yang tidak memihak terhadap kasus Nord Stream tidak disetujui.
"Memang, itu adalah tontonan yang menarik, instruktif, dan informatif tentang bagaimana negara-negara Barat keluar, menghindari pertemuan Dewan Keamanan (PBB) hanya untuk tidak menyetujui instruksi kepada sekretaris jenderal untuk mengatur penyelidikan yang tidak memihak, objektif, dan transparan terhadap serangan teroris yang jelas dilakukan terhadap pipa gas Nord Stream. Semua orang tahu bahwa ini adalah serangan teroris," kata Lavrov.
Otoritas Jerman, Swedia, dan Denmark sedang menyelidiki ledakan bawah laut yang memicu kebocoran pada dua pipa Nord Stream di Laut Baltik pada September 2022. Rusia menyerukan penyelidikan internasional yang dipimpin PBB atas sabotase pipa gas tersebut dan untuk mengidentifikasi siapa yang harus disalahkan, tetapi permintaan itu tidak didukung oleh Dewan Keamanan.
Hanya Rusia, Cina, dan Brail yang memberikan suara mendukung rancangan resolusi sementara 12 anggota dewan lainnya abstain. Sedikitnya sembilan suara pendukung diperlukan untuk meloloskan rancangan resolusi di badan beranggotakan 15 negara itu.