Sabtu 18 Nov 2023 11:55 WIB

Israel Dilaporkan Uji Senjata Baru dalam Perang di Gaza, Seperti Apa Dampaknya?

Luka bakar yang diakibatkan senjata itu sangat dalam dan terbakar hingga ke tulang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Warga Palestina menyelamatkan korban selamat pasca serangan Israel di Rafah, Jalur Gaza, Jumat, 17 November 2023.
Foto:

Amnesty International menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Israel mengekspor senjata yang sampai di tujuan setelah serangkaian transaksi, sehingga mengabaikan pengawasan internasional. Israel belum meratifikasi Perjanjian Perdagangan Senjata, yang melarang penjualan senjata yang berisiko digunakan dalam genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  Oleh karena itu, ekspor senjata mereka telah mempengaruhi jalannya sejarah beberapa negara, banyak di antaranya dipimpin oleh rezim yang kontroversial.

Israel menjual senjata kepada pemerintah apartheid Afrika Selatan pada 1975. Israel bahkan setuju untuk memasok hulu ledak nuklir, namun Israel membantah melakukan hal tersebut.  Napalm dan senjata lainnya dipasok ke El Salvador selama perang kontra-pemberontakan antara  1980-1992 yang menewaskan lebih dari 75.000 warga sipil.

Pada 1994, peluru, senapan, dan granat buatan Israel diduga digunakan dalam genosida di Rwanda yang menewaskan sedikitnya 800.000 orang.  Israel memasok senjata kepada tentara Serbia yang berperang melawan Bosnia pada 1992-1995.

Pada 2018 Pemerintah Israel mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa mereka telah menghentikan penjualan senjata ke Myanmar. Surat kabar Haaretz tahun lalu melaporkan, produsen senjata terus memasok senjata kepada pemerintah militer Myanmar hingga tahun 2022. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap embargo senjata internasional tahun 2017 terhadap negara tersebut.

Pada September tahun ini, Israel memasok UAV, rudal, dan mortir ke Azerbaijan untuk kampanyenya merebut kembali Nagorno-Karabakh, yang menyebabkan 100.000 etnis Armenia mengungsi. Salah satu penyebab sulitnya melacak ekspor senjata Israel adalah sifat perdagangan senjatanya.

“Pemerintah membeli dan menjual satu sama lain secara langsung dan melalui kontraktor pertahanan besar mereka, namun ada juga perdagangan paralel yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang biasanya tidak ilegal namun memberikan penyangkalan yang masuk akal,” kata Stephen Badsey, profesor studi konflik di Universitas Wolverhampton.

Badsey mengatakan, kontrol tunggal terbesar yang dimiliki negara-negara penjual atas penggunaan senjata mereka oleh negara lain adalah persyaratan aturan pengguna akhir atau penggunaan akhir. Namun sebagai eksportir senjata utama yang tidak tunduk pada Perjanjian Perdagangan Senjata, Israel telah membangun reputasi karena norma ekspornya yang longgar.

Pada tahun 2018, mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan, dia akan meminta militernya untuk membeli senjata secara eksklusif dari Israel. Karena Israel tidak memberlakukan pembatasan.

Peraturan pemerintah baru yang diperkenalkan tahun lalu akan memungkinkan Israel untuk menjual lebih banyak senjata ke lebih banyak negara tanpa izin. Hal ini bermanfaat karena angka ekspor senjata Israel meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir, dengan total 12,5 miliar dolar AS pada tahun lalu.

Dua hari setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant membandingkan rakyat Palestina dengan “manusia binatang”. Bagi Loewenstein, komentar-komentar yang tidak manusiawi itu bukanlah hal yang mengejutkan.

“Jelas terlihat jelas atas pendudukan Israel dan peperangan yang tak terhitung jumlahnya bahwa warga Palestina diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Seperti binatang,” kata Loewenstein.

Tentara Israel telah menguji coba peluru karet, senjata robotik....

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement