Ahad 19 Nov 2023 23:27 WIB

Israel Jadikan Kelaparan di Gaza sebagai Senjata

Tidak ada toko roti di Jalur Gaza utara yang aktif sejak 7 November

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi Palestina menyiapkan roti menggunakan kayu bakar akibat kekurangan gas di kamp pengungsi Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 17 November 2023. Lebih dari 11.000 warga Palestina dan setidaknya 1.200 warga Israel tewas, menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Israel.
Foto:

Menurut kelompok advokasi Euro-Mediterania Human Rights Monitor, Israel telah secara tajam meningkatkan perang kelaparan terhadap warga sipil di Jalur Gaza. Tindakan ini sebagai alat penaklukan bagian dari perang yang sedang berlangsung.

Sebelum perang Israel, 70 persen anak-anak di Jalur Gaza sudah menderita berbagai masalah kesehatan termasuk kekurangan gizi, anemia, dan lemahnya kekebalan tubuh. Menurut Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania, jumlah ini meningkat hingga lebih dari 90 persen akibat pemboman Israel.

Laporan tersebut menyoroti, Israel memfokuskan serangan terhadap generator listrik dan unit energi surya yang menjadi sandaran perusahaan komersial, restoran, dan lembaga sipil. Tindakan ini dilakukan untuk mempertahankan tingkat operasi seminimal mungkin.

Laporan tersebut juga memperingatkan, serangan Israel mencakup penghancuran kawasan pertanian di timur Gaza, silo tepung, dan perahu nelayan, serta pusat pasokan untuk organisasi bantuan, khususnya Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Padahal ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi dan berlindung di sekolah-sekolah dan rumah sakit yang dikelola PBB bergantung pada bantuan UNRWA.

“Kami bergantung pada bantuan untuk memberi makan anak-anak kami,” kata Maysara Saad yang mengungsi bersama sembilan anaknya dari kota utara Beit Hanoon ke sebuah sekolah di Bani Suhaila, sebelah timur Khan Younis.

Saad mengatakan, tidak ada apa pun di toko, dan rak-raknya kosong. "Kami terpaksa mengungsi dari rumah kami untuk melindungi anak-anak kami, namun kami juga tidak ingin mereka mati kelaparan," ujarnya.

Pria berusia 59 tahun itu mengatakan, warga Bani Suhaila kerap datang ke sekolah untuk melihat apakah masih ada sisa bantuan untuk keluarganya.  “Seolah-olah Israel mengatakan kepada kita bahwa jika kita tidak mati akibat pemboman tersebut, mereka akan membuat kita mati karena kehausan, kelaparan, atau kedinginan. Ini adalah perang yang sangat kejam dan tidak memiliki rasa kemanusiaan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement