Ahad 18 Feb 2024 08:52 WIB

Nestapa Rafah, Tempat Pelarian Terakhir Warga Gaza yang Kini Dibombardir Zionis Israel 

Rafah menjadi target militer Zionis Israel berskala besar

Anak-anak dan warga Palestina antre untuk mendapatkan makanan gratis di Rafah, Jalur Gaza, Jumat (16/2/2024). Badan bantuan internasional mengatakan Gaza menderita kekurangan makanan, obat-obatan, dan pasokan pokok lainnya akibat perang antara Israel dan Hamas.
Foto: AP Photo/Fatima Shbair
Anak-anak dan warga Palestina antre untuk mendapatkan makanan gratis di Rafah, Jalur Gaza, Jumat (16/2/2024). Badan bantuan internasional mengatakan Gaza menderita kekurangan makanan, obat-obatan, dan pasokan pokok lainnya akibat perang antara Israel dan Hamas.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Rumah sakit terbesar di Gaza yang masih berfungsi di Khan Younis masih dikepung oleh pasukan Israel dengan laporan bahwa staf medis dipukuli dan bantuan diblokir. Kini, satu-satunya jalan bagi warga Gaza untuk melarikan diri adalah kota Rafah.

“Rafah adalah akhir dari perjalanan, tidak ada tempat lain untuk melarikan diri,” dikutip dari laporan Aljazeera, Sabtu (17/2/2024). 

Baca Juga

Kelompok bantuan Médecins Sans Frontières memperingatkan ketika 1,4 juta orang di kota paling selatan ini menghadapi serangan, kelaparan, dan penyakit Israel.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden berharap Israel tidak akan melakukan invasi darat besar-besaran ke Rafah. Dia pun memperkirakan hal itu tidak akan terjadi. 

Kendati demikian, pada Senin (12/2/2024) lalu Israel telah melancarkan serangan udara di kota Rafah di Gaza selatan. Sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. 

Otoritas kesehatan di Rafah melaporkan pembunuhan tragis oleh militer Israel terhadap 100 lebih warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, dan ratusan korban luka lainnya.

Tujuan serangan Israel ke Rafah adalah untuk mengalahkan batalyon terakhir kelompok pejuang Palestina Hamas di kota tersebut. Hamas menyebut serangan Israel di Rafah itu sebagai lanjutan dari "genosida dan pemindahan massal" oleh pasukan negara Zionis tersebut. Di Rafah, Israel memaksa warga sipil untuk mengungsi dengan dalih menjadikan kota itu sebagai zona aman.

Sementara itu, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell pada Jumat mendesak Pemerintah Israel untuk tidak melakukan serangan militer di kota Rafah, Gaza selatan, dimana lebih dari satu juta warga Palestina yang mengungsi mencari perlindungan dari serangan bertubi-tubi oleh Tel Aviv.

"Uni Eropa sangat prihatin atas rencana Pemerintah Israel mengenai kemungkinan serangan darat di Rafah, dimana lebih dari satu juta warga Palestina berlindung dari perang saat ini," bunyi pernyataan resmi Borrell.

Sambil menegaskan "hak Israel untuk membela diri," Borrell mengatakan Belgia "meminta Pemerintah Israel tidak melakukan tindakan militer di Rafah yang dapat memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah menjadi bencana dan mencegah penyediaan kebutuhan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan.”

Borrell meminta Tel Aviv untuk memastikan melindungi warga sipil sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional, dan mematuhi perintah Mahkamah Internasional yang diputuskan pada 26 Januari, yang ia tekankan mengikat secara hukum.

Israel digugat melakukan genosida pada sidang ICJ, yang dalam keputusan sementara pada bulan Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan genosida dan mengambil langkah yang menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza..

Borrell juga meminta kelompok Palestina Hamas membebaskan seluruh sandera di Gaza.

Perang Gaza mencapai titik kritis saat Israel menyerang Rafah, yang berbatasan dengan Mesir dan tempat di mana 1,4 juta orang mengungsi untuk menghindari pengeboman Israel. Para pengungsi berdesak-desakan di tenda-tenda dan apartemen dan tempat perlindungan sementara.

Mesir, Qatar, dan sekutu...

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement