Kamis 21 Mar 2024 04:29 WIB

Nasib Malang Haiti yang Terjebak dalam Keterpurukan

Haiti adalah satu-satunya negara di dunia yang dibangun dari perlawanan perbudakan.

 Para pengunjuk rasa mengendarai sepeda motor melewati tumpukan sampah yang terbakar saat demonstrasi di Port-au-Prince, Haiti, (6/2/2024).
Foto: EPA-EFE/Siffroy Clarens
Para pengunjuk rasa mengendarai sepeda motor melewati tumpukan sampah yang terbakar saat demonstrasi di Port-au-Prince, Haiti, (6/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID,PORT AU PRINCE -- Hanya perlu dua jam bagi warga Amerika Serikat (AS) untuk mencapai Haiti. Dengan jarak 680 kilo meter, Haiti jauh lebih dekat ketimbang AS ke Asia, Timur Tengah atau Eropa. Haiti juga sudah berdiri sejak 1804 atau 141 tahun sebelum Republik Indonesia berdiri.

Namun dengan wilayah yang begitu dekat ke AS yang acap disebut benteng demokrasi dunia dan berumur jauh lebih tua dari Indonesia yang stabil sejak puluhan tahun lalu, Haiti justru kesulitan untuk stabil dan menguatkan demokrasinya. Mereka kini bahkan dikuasai gengster yang melumpuhkan hampir semua sendi bernegara di negara itu.

Baca Juga

Haiti adalah satu-satunya negara di dunia yang dibangun dari perlawanan perbudakan, tepatnya perbudakan oleh kolonial Prancis. Negara ini menempati bagian barat pulau besar di Laut Karibia, Pulau Hispaniola, sedangkan bagian timur pulau ini menjadi wilayah Republik Dominika.

Negara beribu kota Port-au-Prince itu memiliki jumlah penduduk 11,4 juta jiwa yang mayoritas kulit hitam dari nenek moyang yang didatangkan dari Afrika oleh penguasa kolonial Prancis sebagai budak yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan gula. Lahir 200 tahun lalu dari semangat emansipasi menentang perbudakan, Haiti justru tak pernah bisa menegakkan diri sebagai simbol emansipasi.

Negara yang seharusnya menjadi inspirasi manusia dalam melawan perbudakan, malah terjerembab dalam perbudakan baru dari elite baru penguasa yang tak lebih korup dari rezim kolonial. Meminjam analisis The Guardian awal Maret ini, korupsi itu sendiri dipupuk oleh elite penguasa Eropa dan Amerika Serikat yang khawatir emansipasi Haiti menyebar ke benua Amerika dan koloni-koloni mereka di seluruh dunia.

Bahkan awalnya negara-negara itu berusaha mengisolasi Haiti dengan tak mengakuinya sebagai negara mereka, termasuk Prancis yang baru mau mengakui kemerdekaan Haiti pada 1825. Tapi pengakuan itu mesti ditukar dengan syarat pemerintah Haiti membayar ganti rugi 150 juta franc (kini setara 21 miliar dolar AS atau sekitar Rp 300 triliun) akibat hilangnya properti Prancis akibat pemberontakan para budak yang berujung kemerdekaan Haiti itu.

Walau angka itu jauh di luar kemampuannya, Haiti bersedia menerima syarat Prancis tersebut. Tapi akibatnya, Haiti harus berutang kepada bank-bank Prancis sampai kemudian terperangkap utang.

Bayangkan saja, 80 persen anggaran belanja Haiti dipakai untuk membayar utang, yang tak pernah selesai sampai seratusan tahun setelah pengakuan Prancis itu.

Dimiskinkan

Prancis bukan satu-satunya yang memiskinkan Haiti, karena sejumlah negara Barat, termasuk Amerika juga melakukannya. Mereka juga terus mengintervensi Haiti dengan mendukung politisi yang dianggap mereka dapat menciptakan “stabilitas”, tapi pada dasarnya melemahkan demokrasi di Haiti.

Contoh termutakhir adalah dukungan AS yang pernah menduduki Haiti dari 1915 sampai 1934. kepada Francois “Papa Doc” Duvalier yang mulai berkuasa pada 1957. Padahal, diktator ini luar biasa bengis dan amat rakus. Tapi, kebrutalan Pap Doc pupus di mata AS mengingat diktator ini diperlukan dalam menangkal komunisme di benua Amerika dan Karibia, yang dikomandoi Fidel Castro di Kuba, negeri yang tak jauh dari Haiti.

Papa Doc pun dialiri bantuan yang tanpa batas, persis dialami para diktator di benua Amerika yang dibutuhkan kehadirannya untuk menangkal komunisme dan gelombang kiri. Setelah meninggal dunia, Papa Doc diteruskan anaknya, Jean-Claude "Baby Doc" Duvalier. Pada masa inilah, rakyat Haiti sudah tak bisa menahan kesabarannya.

Mereka menumbangkan Baby Doc pada 1986 setelah AS yang menjadi patronnya tak lagi bersedia menyangga kekuasaan Baby Doc yang semakin korup. Pemerintahan hasil pemilu demokratis lalu terbentuk pada 1988. Namun tak lama kemudian dikudeta oleh tentara.

Dua tahun kemudian politisi bernama Jean-Bertrand Aristide terpilih dalam pemilu sebagai presiden pada Desember 1990. Aristide pun tak luput dikudeta. Tapi kekuasaannya dipulihkan pada September 1994 berkat bantuan AS yang mengirimkan 20 ribu tentara ke Haiti.

Aristide menempuh sejumlah gebrakan, termasuk melarang milisi bengis peliharaan dinasti Duvalier, Tonton Macoutes. Aristide juga membubarkan angkatan bersenjata. Tapi, dia sendiri membentuk kelompok bersenjatanya sendiri, selain berafiliasi dengan sejumlah milisi bersenjata lainnya.

Ternyata ini malah menyuburkan kelompok-kelompok bersenjata partikelir di negara itu, yang kemampuannya bisa melebihi aparat keamanan resmi. Kejahatan pun terjadi mana-mana sampai rakyat Haiti bangkit membentuk gerakan bersenjatanya sendiri, untuk menghadapi geng-geng kriminal.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement