REPUBLIKA.CO.ID, Orang Rohingya tergolong sebagai etnis paling mengenaskan di muka bumi setelah terusir dari tanah kelahirannya di Myanmar dan harus ditolak saat lari mencari perlindungan ke negara lain guna menghindari kekerasan militer.
Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut minoritas Rohingya adalah salah satu dari minoritas yang paling dipersekusi atau paling mendapat perlakuan buruk di dunia.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah atau ditumpas. Nampaknya definisi persekusi itu diakui sejumlah aktivis HAM benar-benar dilakukan kepada Rohingya oleh otoritas Myanmar bersama dengan pengikutnya yang berkepentingan.
Sejumlah laporan menyebut rumah orang Rohingya dibakar militer Myanmar dan warga sipil bersenjata. Rumah mereka disiram bensin dan sejumlah kasus dibakar bersama penghuninya secara hidup-hidup termasuk mereka golongan lemah yaitu orang tua, perempuan dan anak-anaknya. Otoritas Myanmar menyangkal tidak melakukan tindakan represif tersebut dan mengklaim rumah-rumah itu dibakar oleh orang Rohingya sendiri.
Pihak berwenang dari negara yang berbatasan darat dengan Bangladesh itu menolak telah melakukan diskriminasi terhadap orang Rohingya. Mereka justru mengklaim operasi pasukan keamanan di Rakhine sebagai bagian dari kampanye sah melawan "teroris".
Meski demikian, justru pemberitaan media melaporkan etnis Rohingya banyak yang eksodus nekat mempertaruhkan keselamatan diri melintas perbatasan negara Myanmar demi harapan hidup. Mereka harus meninggalkan rumah, ladang, tempat usaha, tanah, harta benda dan semacamnya demi menyelamatkan nyawa dan diri dari persekusi meski mereka telah menghuni Rakhine State secara turun temurun berpuluh tahun lamanya.
Lembaga bernama The Independent Burma Human Rights Network menyebutkan otoritas Myanmar melakukan persekusi sistematis terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya. Persekusi di Myanmar pada umumnya dilakukan oleh pemerintah, sejumlah kecil biksu radikal dan kelompok-kelompok ultra-nasionalis.
Perlakuan terhadap 1,1 juta warga etnis Rohingya kini menjadi tantangan besar bagi pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi. Anak dari mendiang Perdana Menteri Myanmar terbunuh di masa lalu, Aung San, itu dikritik karena membiarkan persekusi terhadap minoritas Muslim.
Menjadi Rohingya
Setelah lari dan melintasi batas negara, orang Rohingya yang sejatinya mencari suaka juga harus ditolak negara tujuan. Sebegitu dilematisnya menjadi seorang yang terlahir dari rahim ibu dari kalangan Rohingya. Jika mengetahui nasibnya akan terlunta tentu tidak ada satupun manusia yang ingin dilahirkan menjadi seorang Rohingya jika harus dipersekusi dan ditolak di tempat tujuan yang seharusnya melindungi mereka.
Atas krisis tersebut, simpati dan bantuan kemanusiaan bagi Rohingya terus mengalir dari segala penjuru dunia untuk etnis tertindas Rohingya. Kendati begitu, tanpa mengesampingkan manfaat yang positif atas simpati dan bantuan kemanusiaan tetap saja masalah utama Rohingya di Myanmar harus segera menemukan jalan keluar sehingga etnis yang mayoritas beragama Islam itu bisa nyaman kembali ke tanah kelahiran mereka tanpa harus terlunta-lunta di negara lain antah berantah.
Presiden Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) Din Syamsuddin mengapresiasi bantuan kemanusiaan untuk Rohingya meski sejatinya itu tidak memadamkan sumber utama konflik di Rakhine State, Myanmar.
"Kami mendesak ASEAN, OKI dan PBB agar melakukan langkah cepat, tepat dan efektif agar menghentikan tindak kekerasan untuk menciptakan perdamaian abadi," kata Din.
Menurut dia, aksi kemanusiaan masyarakat internasional dapat meringankan beban korban kebrutalan militer Myanmar terhadap Rohingya lewat donasi pangan, bantuan obat-obatan, kesehatan, tempat pengungsian dan semacamnya.
Tetapi, lanjut dia, terdapat persoalan mendasar yaitu pada kebijakan pemerintah Myanmar yang cenderung rasialis sehingga Rohingnya mendapatkan diskriminasi, bahkan kekerasan dan persekusi. Maka dari itu, Din mengusulkan perdamaian abadi bagi Rohingya dengan pemenuhan hak-hak mereka sebagai manusia.
Din mengibaratkan aksi bantuan kemanusiaan untuk Rohingya seperti menanggulangi korban bencana kebakaran sementara penyebab kebakaran itu tidak disasar sehingga bencana terus terjadi.
Menurut Din, yang lebih dibutuhkan saat ini oleh setiap pihak adalah upaya politik mendesak pemerintah Myanmar agar mengakui Rohingya yang telah menjadi bagian negara itu selama bertahun-tahun lamanya. Lewat pengakuan itu, maka sudah seharusnya Rohingya akan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Myanmar.
Kekerasan di Myanmar, kata dia, tidak sesuai dengan ajaran agama manapun, termasuk Islam dan Buddha yang sejatinya mengajarkan kasih sayang, kerukunan dan perdamaian antarsesama.
Krisis multidimensi
Berbicara krisis Rohingya tidak bisa melulu menyalahkan faktor agama karena nyatanya banyak persoalan menyertainya seperti adanya kepentingan politik, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya. Etnis Rohingya di awal Myanmar berdiri merupakan satu kesatuan dengan etnis lainnya dan memiliki hak yang sama di negara yang awalnya bernama Birma itu.
Bahkan beberapa pejabat birokrasi di Myanmar juga berasal dari orang Rohingya. Seiring berjalannya waktu dan semakin berkuasanya junta militer pada 1960-an di negara itu secara perlahan orang Rohingya dihapus kewarganegaraannya pada 1982 lewat Undang-undang Kewarganegaraan Burma.
Miris, karena tanpa kewarganegaraan maka seseorang atau sekelompok orang akan kehilangan hak-haknya sebagai warga negara sehingga tidak bisa menikmati fasilitas negara untuk masyarakatnya.
Anggota Komisi I DPR RI Hidayat Nur mengatakan, penghapusan kewarganegaraan bagi seseorang atau sekelompok orang akan sangat fatal. Dia mengambil permisalan suku Jawa di Suriname yang jauh dari Indonesia kemudian dicabut kewarganegaraannya tentu akan menjadi persoalan krusial, seperti menjadikan mereka tidak mendapatkan jaminan negara untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan, layanan kesehatan dan lainnya.
Padahal, orang Jawa di Suriname itu sudah hidup lama di Benua Amerika sejak zaman penjajahan Belanda. Jika sampai dicabut kewarganegaraannya, orang keturunan Jawa di Suriname akan kalang kabut antara harus pergi dari tanah kelahirannya atau menjadi pengungsi di negara lain tanpa jaminan nasib yang jelas.
Beruntung persoalan kewarganegaraan keturunan Jawa di Suriname itu adalah bentuk permisalan. Akan tetapi, sangat sial bagi orang Rohingya karena kejadian penghapusan kewarganegaraan itu ternyata benar-benar terjadi. Dengan begitu, mereka tidak diakui pemerintahan Myanmar yang kini dikuasai mayoritas orang dari Liga Nasional Demokrasi (NLD) yaitu partai yang dipimpin seorang kalangan sipil Aung San Suu Kyi.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi mengatakan krisis di Rohingya sudah berbaur banyak kepentingan tidak hanya agama. Apalagi orang Rohingya yang tinggal di Negara Bagian Rakhine yang memiliki cadangan minyak dan gas. Orang militer, birokrasi dan elit tentu punya berkepentingan di Rakhine sehingga secara langsung atau tidak berusaha mengusir orang Rohingya kemudian menguasai tanahnya secara "gratis".
Menurut Muhyiddin, persoalan Rohingya awalnya memang persoalan etnis tapi berubah menjadi komunal dan terus membesar bak efek bola salju sehingga persoalan semakin pelik.
Menilik peran Indonesia
Ketua Presidium Alumni 212 Kapitra Ampera yang menjadi salah satu perwakilan pengunjuk rasa di Kedutaan Besar Myanmar berpendapat diplomasi Indonesia ke Myanmar masih kurang "greget" atau keras.
"Pemerintah sudah ada langkah diplomasi konstruktif tetapi kurang 'greget' tekanannya yang bisa membuat Myanmar segera menghentikan kejahatan-kejahatannya," kata Kapitra.
Dia mendorong, pemerintah Indonesia agar melakukan langkah memulangkan kembali duta besar Myanmar di Jakarta ke negaranya sehingga dapat memberi tekanan.
Selain itu, lanjut dia, perlu juga untuk menutup kantor Kedubes Myanmar di Jakarta, melakukan embargo terhadap Myanmar dan agar Indonesia mengirim pasukan perdamaian ke Rakhine State di Myanmar.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) didorong banyak pihak dari dalam dan luar negeri untuk memainkan perannya guna ikut mencari jalan keluar krisis Rohingya.
Sejauh ini, Indonesia memilih jalur diplomasi lembut dengan Myanmar untuk solusi jangka panjang etnis Rohingya di Myanmar.
Pemerintah Indonesia perlu mencari solusi permanen atas masalah Muslim Rohingya dengan meminta pemerintah junta Myanmar mengakui keberadaan minoritas tersebut, kata Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Edy Suandi Hamid.
"Dengan demikian, keberadaan Muslim Rohingya diakui sebagai bagian integral sehingga berhak atas kehidupan dan hak sebagai warga negara Myanmar," katanya.
Menurut dia, solusi permanen itu hendaknya diperjuangkan melalui peran aktif politik luar negeri Indonesia dalam ASEAN di tingkat regional Asia Tenggara, Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
"Jika solusi permanen yang ditawarkan gagal atau sulit dicapai, pemerintah Indonesia perlu memberikan suaka politik bagi Muslim Rohingya atas nama perikemanusiaan, demi menyelamatkan kehidupan mereka dari kepunahan," katanya.