Jumat 22 Sep 2017 10:20 WIB

Korut Siap Melakukan Uji Bom Nuklir Terbesar di Pasifik

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Citra satelit yang menunjukkan lokasi reaktor nuklir Korea Utara (Korut) Yongbyon.
Foto: reuters
Citra satelit yang menunjukkan lokasi reaktor nuklir Korea Utara (Korut) Yongbyon.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Korea Utara Ri Yong-ho, pada Kamis (21/9), mengatakan Pyongyang dapat melakukan uji coba senjata nuklir di Samudera Pasifik.  Uji coba ini bisa dilakukan sebagai tanggapan atas ancaman tindakan militer dari Presiden AS Donald Trump.

Ri yang dijadwalkan akan menghadiri sidang Majelis Umum PBB pada Jumat (22/9) mengatakan keputusan terakhir dari uji coba itu ada di tangan pemimpinnya, Kim Jong-un.  "Uji coba ini mungkin bisa menjadi uji coba bom hidrogen terkuat di Samudra Pasifik. Mengenai tindakan mana yang harus dilakukan, saya tidak begitu tahu karena semua ada di tangan Kim Jong-un," kata Ri.

Komentar Ri dinyatakan beberapa jam setelah Kim mengatakan Trump akan menanggung akibatnya karena telah mengancam akan menghancurkan Korut.

Dalam sebuah pernyataan langsung, Kim mengatakan dia akan mempertimbangkan dengan serius untuk melakukan tindakan paling keras dalam sejarah. "Saya sekarang sedang berpikir mengenai balasan apa yang pantas ia dapatkan atas kata-kata yang keluar dari mulutnya. Saya tentu akan menjinakkan orang tua gila dari Amerika itu dengan tembakan," ujar Kim, dikutip CNN.

Dalam pidato pertamanya di forum PBB sebagai Presiden AS, Trump mengatakan AS siap menghancurkan Korut sepenuhnya. Peringatan keras ini belum pernah diucapkan sebelumnya oleh seorang Presiden AS dihadapan para pemimpin dunia dan diplomat tinggi.

Menanggapi pidato tersebut, Kim mengatakan komentar Trump adalah sebuah penghinaan. "Saya ingin menyarankan Trump untuk berhati-hati dalam memilih kata-kata dan memperhatikan kepada siapa dia berbicara saat berpidato di depan dunia," ujar Kim.

Beberapa analis Korut percaya ini adalah pertama kalinya Kim Jong-un merilis sebuah pernyataan langsung. "Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, sejauh yang kami tahu. Dia jelas tersinggung oleh pidato tersebut, dan yang paling mengkhawatirkan saya adalah tanggapan yang sedang dia pertimbangkan," ujar Vipin Narang, seorang profesor ilmu politik di MIT dan pakar pencegahan dan kebijakan nuklir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement