Selasa 16 Jan 2018 14:29 WIB

Israel Perpanjang Penahanan Ahed Tamimi untuk Keempat Kali

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Ahed Tamimi saat digiring polisi Israel menuju pengadilan militer di  Betunia, Tepi Barat, Rabu (20/12).
Foto: Abir Sultan/EPA
Ahed Tamimi saat digiring polisi Israel menuju pengadilan militer di Betunia, Tepi Barat, Rabu (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pengadilan Israel pada Senin (15/1) kembali memutuskan untuk memperpanjang masa penahanan Ahed al-Tamimi. Gadis Palestina berusia 16 tahun ini kembali ditahan selama 48 jam dengan alasan menunggu penyelidikan lebih lanjut.

Ini adalah keempat kalinya penahanan al-Tamimi diperpanjang sejak penangkapannya oleh otoritas Israel hampir satu bulan yang lalu.

Pengadilan militer Ofer Israel yang terletak di sebelah barat Kota Ramallah di Tepi Barat, memperpanjang penahanan remaja tersebut hingga 17 Januari di bawah permintaan jaksa militer.

Sesi persidangan al-Tamimi di pada Senin (15/1) dihadiri oleh anggota keluarganya, beberapa diplomat asing, dan aktivis hak asasi manusia (HAM). Dalam sesi persidangan itu, al-Tamimi yang tangan dan kakinya diborgol, meyakinkan ayahnya, Bassem yang juga hadir bahwa dia akan baik-baik saja.

Seperti dilansir di Anadolu, pasukan Israel pertama kali menahan al-Tamimi pada 19 Desember di Desa Nabi Saleh, Tepi Barat. Ibu dan sepupunya turut ditangkap tak lama setelah penangkapan al-Tamimi.

Baca juga, Ahed Tamimi, Gadis Pirang Pemberani Penentang Israel.

Pada 2012, Kota Basaksehir di Istanbul memberi al-Tamimi penghargaan bergengsi Hanzala Courage karena telah berani menentang tentara Israel yang baru saja menangkap saudara laki-lakinya.

Pada saat itu, Perdana Menteri Turki (sekarang menjadi presiden) Recep Tayyip Erdogan bertemu dengan al-Tamimi secara pribadi untuk menyampaikan kekagumannya atas keberaniannya.

Ayah, ibu, dan saudara laki-laki al-Tamimi juga telah berulang kali ditangkap karena sering menyuarakan penentangannya terhadap pendudukan Israel selama beberapa dekade.

Wilayah Palestina semakin menegang sejak 6 Desember lalu ketika Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan ini memicu kecaman dan protes dari seluruh dunia Arab dan Muslim. Sejak saat itu, setidaknya 17 warga Palestina telah tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan Israel di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement