Senin 16 Jul 2018 15:05 WIB

Pengungsi di Uganda Hadapi Ancaman Kekurangan Pangan

Makanan yang ada hanya bisa bertahan sampai Agustus.

Bahan Pangan
Foto: ROL/Muda Saleh
Bahan Pangan

REPUBLIKA.CO.ID, TORRO, UGANDA -- Program Pangan Dunia PBB (WFP) di Uganda baru-baru ini mengatakan barang di gudangnya mulai menunjukkan tanda-tanda segera habis. Lembaganya kekurangan dana di tengah arus pengungsi yang tiba di negara Afrika Timur tersebut.

El-Khidir Daloum, Direktur WFP di Uganda, mengatakan makanan yang ada hanya bisa bertahan sampai Agustus kalau dana darurat yang diperlukan tidak diterima. Daloum mengatakan badan dunia tersebut memerlukan sebanyak 53 juta dolar AS untuk memberi makan lebih dari 1,4 juta pengungsi di negeri itu untuk enam bulan ke depan.

Pengungsi mengandalkan WFP untuk bantuan makanan dalam tahun pertama mereka di Uganda. Sementara, WFP 100 persen mengandalkan sumber daya dari luar. "Kami menyeru mereka untuk membantu kami menutup jurang pemisah tersebut sehingga kami bisa memperoleh makanan tepat pada waktunya dan membagikannya kepada warga, jika tidak hak rakyat untuk memperoleh makanan akan terganggu," kata Daloum.

Badan dunia itu menyatakan WFP menggunakan sistem biometrik untuk membatasi kebocoran makanan pada rantai pembagian. "Ini menjamin orang yang tepat menerima bantuan yang mereka perlukan. Prosedur baru pembagian makanan sudah dilaksanakan di lima permukijman, dan akan diberlakukan di semua permukiman pada November," kata WFP.

Uganda menampung lebih dari 1,4 juta pengungsi terutama dari negara tetangga. Hal itu membuat Uganda jadi negara terbesar ketiga yang menampung pengungsi di dunia.  Sudan Selatan adalah penyumbang utama warga pengungsi di Uganda. Diikuti oleh Republik Demokratik Kongo. Negara lain yang memiliki pengungsi di Uganda meliputi Rwanda, Burundi, Somalia, Ethiopia dan Eritrea.

Musa Ecweru, Menteri Negara Urusan Pengungsi dan Kesiapan Bencana, menyatakan Uganda membuka pintu untuk para pengungsi. Ia mengatakan pengungsi di Uganda diperkenankan bekerja, bebas melakukan perjalanan di negeri tersebut dan memiliki tanah tidak seperti di beberapa negara Eropa, tempat pengungsi tak diizinkan masuk.

Namun Ecweru mengatakan Uganda membayar harga mahal untuk menampung pengungsi dengan jumlah sebanyak itu. "Karena kebijakan pintu-terbuka, beban yang dihadapi Uganda besar, beban pembangunan prasarana, perlindungan lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan. Masyarakat internasional mesti membantu memikul beban ini," kata dia.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement