Rabu 17 Oct 2018 12:39 WIB

AS Desak PBB Seret Myanmar ke Pengadilan Internasional

Tim pencari fakta PBB untuk kasus Rohingya diminta beri laporan ke Dewan Keamanan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) dan delapan negara lainnya meminta tim pencari fakta PBB di Myanmar untuk memberi laporan kepada Dewan Keamanan (DK) PBB bulan ini mengenai temuan-temuannya terkait krisis Rohingya.

Menurut negara-negara itu, penjelasan dari tim tersebut memungkinkan DK PBB untuk menerima informasi lebih lanjut mengenai situasi terkini dan implikasinya untuk perdamaian dan keamanan internasional. Mereka mendesak DK PBB untuk merujuk kasus ini ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, atau membuat pengadilan kriminal internasional ad hoc, seperti yang didirikan di bekas Yugoslavia.

Negara-negara yang mengajukan permintaan adalah AS, Inggris, Prancis, Peru, Swedia, Pantai Gading, Belanda, Polandia, dan Kuwait. Sembilan suara diperlukan di DK PBB yang beranggotakan 15 negara, untuk menyetujui permintaan itu tanpa veto.

Permintaan itu kemungkinan akan mendapat tentangan dari Cina. Cina memiliki hubungan persahabatan dengan militer Myanmar dan telah berusaha melindunginya di DK PBB.

Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada DK PBB, Duta Besar Myanmar Hau Do Suan mengatakan pemerintahannya sangat keberatan atas permintaan sejumlah negara yang ingin agar tim pencari fakta memberikan laporan ke dewan tersebut. Dalam laporan yang dirilis bulan lalu, tim pencari fakta PBB mengatakan jenderal-jenderal utama Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan dituntut atas tuduhan genosida di Rakhine.

Dalam suratnya, Dubes Hau Do Suan mengeluhkan laporan tim pencari fakta yang menurutnya berat sebelah. Ia menambahkan, penyelidikan itu dilakukan berdasarkan pada narasi dan bukan pada bukti kuat.

"Menempatkan akuntabilitas di atas segalanya tanpa memperhatikan perkembangan positif lainnya, adalah upaya berbahaya yang akan berujung pada kegagalan total," ujar dia dalam surat itu dikutip Aljazirah.

Myanmar mengatakan kekerasan di Rakhine dipicu oleh pemberontak Rohingya yang menyerang pos perbatasan pada Agustus 2017. Namun tim pencari fakta mengatakan ada alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa kekejaman itu dilakukan dengan maksud membinasakan etnis Rohingya.

Laporan itu menemukan kekerasan militer sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya. Laporan tersebut menambahkan, perkiraan ada sekitar 10 ribu orang tewas dalam kekerasan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement