Ahad 19 Aug 2018 12:44 WIB

Mesir Perketat Pengawasan Penggunaan Internet

Warga yang buka situs radikal bisa dipenjara.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Mesir Jenderal Abdel Fatah al-Sisi.
Foto: Reuters
Presiden Mesir Jenderal Abdel Fatah al-Sisi.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi menandatangani regulasi terkait pengetatan pengawasan internet oleh pemerintah.  Aturan tersebut memberikan kewenangan bagi Pemerintah Mesir untuk memblokir situs yang dinilai mengancam keamanan dan ekonomi nasional.

Kairo mengatakan, regulasi tersebut dibuat sebagai bagian dari perang siber. Siapapun yang terbukti bersalah menjalankan atau hanya mengunjungi situs yang dinilai berbahaya tersebut terancam denda dan penjara. "Langkah-langkah baru diperlukan untuk menanggulangi terorisme dan ketidakstabilan," kata otoritas Mesir seperti diwartakan BBC, Ahad (19/8).

Meski demikian, regulasi tersebut mendapat tentangan dari aktivis hak asasi manusia (HAM). Asosiasi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang berbasis di Kairo mengatakan, lebih dari 500 situs telah ditutup pemerintah tak lama regulasi baru itu disahkan.

Baca juga, Amnesty Kritik Kondisi HAM Mesir dalam Laporan Tahunan.

Regulasi terkait dunia maya juga telah diloloskan parlemen Mesir pada bulan lalu dan tinggal menunggu pengesahan presiden. Regulasi itu berisi tentang pengawasan ketat terhadap akun media sosial yang memiliki pengikut di atas 5.000 orang.

Diskusi terkait dunia internet terus menjadi bahasan dalam berbagai forum di Mesir. Organisasi pengamat HAM menilai pemerintah Mesir menggunakan kontra terorisme, hukum keadaan darurat nasional dan pengadilan untuk mengadili jurnalis, aktivis dan kritikus terkait suara protes mereka.

Mereka yang baru-baru ini ditangkap termasuk blogger terkenal dan pembela hak Wael Abbas, seorang aktivis politik dan istri kepala Komisi Mesir untuk Hak dan Kebebasan Amal Fathy dan seorang komikus, Shady Abu Zaid.

Pada Februari lalu, Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengkritik kondisi HAM di Mesir dalam laporan tahunannya yang bertajuk "World Report". Menurut Amnesty, krisis HAM di Mesir meningkat signifikan pada 2017.

 

 

 

Laporan memuat pelanggaran HAM oleh pemerintah Mesir selama setahun terakhir. Pelanggaran ini mencakup penangkapan sewenang-wenang terhadap ratusan orang, pembatasan hukum baru yang diberlakukan terhadap lembaga swadaya masyarakat, dan proses peradilan yang tak adil ketika menjatuhkan hukuman mati kepada puluhan warganya.

"Krisis HAM Mesir terus berlanjut tanpa henti. Pihak berwenang menggunakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya serta penghilangan paksa terhadap ratusan orang. Puluhan orang dieksekusi secara bebas dengan kekebalan hukum," kata Amnesty dalam laporannya, dikutip laman Middle East Monitor.

Laporan Amnesty pun mengecam penangkapan massal terhadap mereka yang dicurigai terlibat Ikhwanul Muslimin. Ratusan orang yang mengalami persidangan tak adil, termasuk 442 orang yang ditangkap karena keikutsertaannya dalam demonstrasi di masjid Al-Fateh pada 2013 turut dikritisi dan dikecam Amnesty.

HRW menyebut pemerintah Mesir juga tak memenuhi hak-hak perempuan di negaranya. Hal ini tampaknya masih banyaknya perempuan Mesir yang menghadapi kekerasan berbasis gender.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement