REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Koordinator Kaukus Parlemen Indonesia untuk Palestina, Al Muzzammil Yusuf, mengharapkan Pemerintah Indonesia lebih berperan dalam di panggung internasional dalam menyelesaikan konflik Libya-Sekutu, khususnya untuk menyelamatkan rakyat Libya.
"Presiden SBY, Menlu atau para Dubes RI di Timur Tengah, perlu melakukan peran aktif bersama Turki dan negara anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam) lainnya, untuk menggantikan peran NATO," katanya di Gedung DPR Jakarta, Selasa.
Dalam pandangan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, peran itu dapat dijalankan misalnya dengan menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB, lalu mendesak penerapan gencatan senjata dan membuka dialog antara pemimpin Libya Muammar Gaddafi dengan para kelompok demonstran.
Menurut Muzzammil, hal ini penting dilakukan untuk mengurangi kehancuran negara serta korban jiwa masyarakat Libya dan juga bahaya intervensi asing yang akan menancapkan kukunya bertahun-tahun kemudian.
"Nasib rakyat Palestina, Irak dan Afghanistan tidak boleh terulang di Libya. Indonesia sebagai negara demokratis, moderat dan terbesar penduduk muslimnya di dunia, saya kira akan cukup diterima oleh OKI serta Pemerintah dan rakyat Libya untuk inisiatif ini." papar Muzzammil.
Muzzammil menyatakan bahwa intervensi NATO yang menggunakan payung resolusi PBB 1973 harus diprotes Indonesia dan dunia. Pasalnya, kondisi itu telah menyimpang dari maksud keberadaannya. "Semula kan hanya ancaman larangan terbang bagi pesawat-pesawat Gaddafi. Ternyata, telah disalahgunakan NATO untuk membombardir sasaran di darat yang mengakibatkan korban rakyat sipil," ungkapnya.
Muzzammil mengatakan, negara barat itu menyembunyikan tiga tujuan utama mereka, yakni kepentingan ekonomi atau sumber daya alam Libya, kepentingan politik guna menempatkan rezim boneka serta kepentingan militer untuk uji coba teknologi perang tercanggih.
Muzzammil mengungkapkan data bahwa secara ekonomi, Libya merupakan sumber minyak terbesar di Afrika dan nomor sembilan dunia dengan perkiraan kekayaan minyaknya Libya tersisa senilai 4.400 miliar dolar AS atau sekitar Rp42.600 Triliun dan gas senilai 4.900 Miliar dolar AS atau kisaran Rp44.100 Triliun). "Maka jangan pernah percaya alasan HAM Barat. Sebab, yang mereka kenal hanyalah bahasa kekuatan dan uang," tegas Muzzammil.