REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pendukung partai sayap kanan Eropa memanfaatkan momentum serangan Paris guna menuntut penghentian arus pengungsi. Mereka berdalih ada teroris bersembunyi di antara pengungsi.
Di Prancis, Pemimpin Front Nasional anti-imigrasi Prancis Marine Le Pen menuntut pemberhentian arus pengungsi. Le Pen khawatir adanya teroris yang menyusup dikalangan pengungsi.
Di Jerman, Pegida menggalang ribuan orang dalam gerakan anti-Islam. "Serangan tersebut tidak datang begitu saja. Hal tersbeut merupakan dampak kebijakan imigrasi yang mengizinkan pengungsi masuk ke dalam negara dengan budaya yang dibenci kebanyakan dari mereka (pengungsi) ," kata Siegfried Daebritz, pemimpin Pegida Jerman.
Secara terpisah, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban memerintahkan penutupan jalur pengungsi dengan kawat berduri. "Kami tidak menganggap seluruhnya teroris, namun tidak ada yang dapat mengatakan berapa jumlah teroris telah datang, berapa banyak yang datang hari demi hari," katanya kepada parlemen di Budapes.
Badan PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR) mendesak negara Eropa tidak merespons serangan teror Paris dengan menyalahkan pengungsi. "Kami cemas atas tanggapan sebagian negara, yang akan menghentikan program, yang sudah dijalankan, mundur dari janjinya mengatasi arus pengungsian atau merancang membangun pagar tinggi," kata juru bicara kepala UNHCR, Melissa Fleming.
"Kami sangat terganggu oleh penggunaan bahasa keji terhadap pengungsi sebagai kelompok. Keadaan itu berbahaya karena dapat memberikan ketakutan dan kebencian," katanya.
Ia mengatakan, UNHCR sangat cemas atas laporan yang menyatakan salah seorang penyerang di Paris kemungkinan memasuki Eropa sebagai bagian dari pengungsi. Tanggapan terbaik adalah meningkatkan segera proses penerimaan kedatangan pengungsi di Yunani dan Italia dan menjalankan rencana penerimaan Uni Eropa terhadap 160.000 pengungsi.