Ahad 03 Sep 2017 16:39 WIB

Satkar Ulama Minta Indonesia Terdepan Setop Genosida

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Seorang prajurit berjalan di tengah puing perkampungan Pauktaw yang dibakar dalam kekerasan baru-baru di Rakhine, Myanmar (Ilustrasi)
Seorang prajurit berjalan di tengah puing perkampungan Pauktaw yang dibakar dalam kekerasan baru-baru di Rakhine, Myanmar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga kini, ratusan korban jiwa terus berjatuhan di daerah konflik Myanmar. Tak kurang dari 18 ribu warga Rohingya juga telah mengungsi ke Bangladesh, termasuk kaum perempuan, anak-anak dan orang tua.

Karena itu, Sekjen DPP Satuan Karya (Satkar) Ulama, HM Ashraf Ali meminta, pemerintah Indonesia selalu terdepan untuk menghentikan genosida atau pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap etnis Muslim tersebut. 

"Pemeritahan Pak Jokowi-JK tak bisa menutup mata dan memalingkan wajah dari kabar ini. Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, pemerintah Indonesia harus segera bereaksi," ujar Ashraf kepada wartawan di Jakarta, Ahad (3/9).

Seharusnya, kata Ashraf, pemerintah Indonesia bisa menjadi garda terdepan dalam upaya menghentikan kebiadaban kebijakan politik Myanmar‎ terhadap etnis Rohingya. Walaupun kebijakan politik dalam Negeri di Myanmar tak bisa dicampuri. Namun, menurut dia, kekejian terhadap kemanusiaan tak boleh terjadi.‎

"Apapun dalihnya, pembantaian kemanusiaan tak bisa dibenarkan di muka bumi manapun. Pemerintah kita harus menggandeng negara-negara lain untuk bersama-sama mencari formula terbaik terhadap permasalahan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar," ucap Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI itu.

Dia mengatakan, seluruh umat Islam sangat sedih merayakan Idul Adha tahun ini lantaran ratusan Muslim Rohingya dibantai dan desa-desa juga dibakar di negara bagian Rakhine, Myanmar. Karena itu, Ashraf juga mendesak dunia Muslim di seluruh penjuru dunia untuk duduk bersama melawan kekerasan di Myanmar.

"Kita tahu, bahwa masalah Arakan (wilayah Rakhine) adalah manifestasi dari perebutan kekuasaan. Kita tidak mau masuk ke wilayah konflik itu, tapi bukan berarti kita juga membiarkan kejahatan kemanusiaan di sana," kata Ashraf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement