Rabu 06 Sep 2017 13:34 WIB

Pemberian Nobel Perdamaian Suu Kyi, Peristiwa Politik

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Petisi cabut nobel perdamaian milik Aung San Suu Kyi di situs Change.org. (Ilustrasi)
Foto: www.change.org
Petisi cabut nobel perdamaian milik Aung San Suu Kyi di situs Change.org. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengurus Pusat (DPP) Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gema Budhi) menilai, saat Aung San Suu Kyi menerima nobel perdamaian merupakan peristiwa politik. Sebagai buktinya saat etnis Rohingya dibantai, Aung San Suu Kyi memilih diam.

Ketua Umum DPP Gema Budhi, Bambang Patijaya kepada Republika.co.id, di Gedung PP Muhammadiyah mengatakan, yang terjadi di Myanmar saat ini adalah kejadian politik di dalam negeri Myanmar. Kata dia, sebagai penerima nobel perdamaian, Aung San uu Kyi seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk terus mengedepankan nilai-nilai perdamaian tersebut di Myanmar.

Namun, dia mengungkapkan, yang terjadi saat ini Gema Budhi tidak melihat suatu reaksi tanggap dan cepat dari Aung San Suu Kyi terhadap kasus yang menimpa etnis Rohingya. Dia memilih diam, dan Gema Budhi tidak melihat banyak statemen dari Aung San Suu Kyi.

"Statemen yang terakhir kita dapat adalah ketika dia bertemu Menteri Luar Negeri (Indonesia) kita. Coba seandainya hal tersebut dinyatakan beliau sejak awal," ujarnya, usai pernyataan sikap Forum Pemuda Lintas Agama di Gedung PP Muhammadiyah, Selasa (5/9).

Dikatakan Bambang, Gema Budhi sangat mengritisi diamnya Aung San Suu Kyi terhadap kejadian yang menimpa etnis Rohingya. Padahal, ketika dia mendapat nobel perdamaian, Aung San Suu Kyi adalah oposisi dari pemerintah Myanmar saat itu.

Sekarang Aung San Suu Kyi adalah bagian dari rezim yang berkuasa. Seharusnya dengan posisi dia sebagai pemimpin Myanmar, dia harus bisa gunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi militer Myanmar. "Atau menginstruksikan kepada Militer Myanmar untuk tidak represif," ujarnya.

Bambang mencontohkan, saat terjadi konflik di Indonesia seperti yang terjadi di Poso, Aceh, Papua dan tempat lainnya, maka saat itu warga Indonesia tidak menjadi korban. Militer Indonesia tidak melakukan hal-hal yang keliru kepada warga negara Indonesia. Sebaliknya, Militer Myanmar melakukan hal keliru kepada etnis Rohingya sebagai warga negaranya sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement