Jumat 29 Sep 2017 12:55 WIB

Meski Bantuan Itu Cuma Pisang, Pengungsi : Shabdkosh...

Pengungsi Rohingya
Foto: Muhammadiyah Aid
Pengungsi Rohingya

REPUBLIKA.CO.ID, Sekitar 45 menit setelah tiba di Hotel Coastal Peace di Cox's Bazar usai mengudara selama 55 menit dari Dhaka, Kamis (29/9) siang, yang berkabut tebal, tim kemanusiaan Indonesia yang akan mendistribusikan bantuan bagi kamp pengungsi Rohingya di Ukhia, sekitar 50 km arah selatan Cox's Bazar. Adalah Eson Ibnu Sam dari lembaga kemanusiaan PKPU Human Initiative yang menginformasikan soal ini.

"Biasanya tim kemanusiaan kita pergi pagi-pagi ke kamp pengungsi. Akan tetapi, hari ini teman-teman dari Rumah Zakat akan ke (kamp pengungsian) Ukhia untuk menyalurkan bantuan," kata Eson.

PKPU Human Initiative dan Rumah Zakat adalah di antara dari beberapa lembaga bantuan kemanusiaan Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM).

Setengah jam sejak perbincangan dengan Eson itu, Nurmansyah dari Special Program & Crisis Centre Rumah Zakat memberi tahu untuk segera bersiap ke Ukhia. Pada Kamis (28/9), mereka menyalurkan bantuan yang salah satu dananya berasal dari "Bobotoh" atau kelompok pendukung tim sepak bola asal Kota Bandung, Persib.

Di bawah guyuran hujan deras sepanjang perjalanan 32,8 km dari Cox's Bazar ke kamp pengungsian Ukhiya Upazila, jeep Toyota Land Rover "jadul" yang sudah dimodifikasi menyerupai kendaraan angkutan barang yang tak berjendela membawa kami ke Ukhia.

Sebagaimana hari-hari sebelum ini, Rumah Zajat dikawani oleh staf lokal yang bertindak juga sebagai penerjemah. Namanya Aiman Ul Alam, pemuda Bangladesh berusia 23 tahun yang menguasai empat bahasa, termasuk bahasa Inggris dan Bengali-Rohingya.

Sama seperti di Dhaka, pengendara di sini pun tidak mau kalah untuk ugal-ugalan, padahal jalan di sini sesempit jalan kabupaten di Indonesia. "Selama saya di sini tak pernah hujan sederas dan selama ini," kata Agus Suryadi, yang seperti Nurmansyah juga berasal dari Rumah Zakat.

Hujan perlahan mereda begitu mencapai titik utama penyaluran bantuan, agak jauh ke selatan Ukhia. Sebelum mencapai kamp pengungsian, sepanjang kiri kanan jalan yang hanya bisa dilalui dua kendaraan itu, para pengungsi yang kebanyakan anak-anak dan wanita berjongkok atau berdiri manahan lapar untuk menjemput langsung bantuan sebelum para pemberi bantuan sampai di kamp mereka.

Tanpa alas kaki, menginjak tanah berlumpur nan kotor di tepi jalan, mereka mengangkat tangan mereka. Tatapan mereka kosong. Letih tergambar dari wajah mereka. Sudah tentu dengan menahan lapar yang teramat sangat. "Shabdkosh" atau lapar adalah memang kata umum yang mereka ucapkan begitu didekati sukarelawan mana saja, termasuk dari Indonesia.

Untuk anak-anak Rohingya

Bantuan memang terus berdatangan ke sini, nyaris tanpa jeda. Akan tetapi, terlalu banyak mulut yang mesti dipuaskan. Hal itu belum termasuk mereka yang mengeluh karena berbagai penyakit. Belum lagi sistem distribusi dan koordinasi bantuan dari pemerintah Bangladesh yang dikeluhkan oleh berbagai tim kemanusiaan, baik Indonesia maupun negara lain, bahkan oleh badan-badan kemanusiaan dunia.

"Ada yang menyebut jumlah pengungsi sudah mencapai satu juta. Tak ada yang bisa memverifikasi jumlah pastinya. Akan tetapi, yang jelas minimal ada 700 ribu orang pengungsi," kata Eson sebelum tim pergi ke Ukhia.

Biasanya menyalurkan bantuan konsumsi yang sudah disusun dalam paket-paket yang dibeli di Cox's Bazar karena umumnya tim bantuan kemanusiaan Indonesia hanya membawa uang untuk disalurkan dalam bentuk barang di kamp pengungsi Rohingya di wilayah Bangladesh, kali ini tim yang mengantarkan bantuan di Ukhia akan mengantarkan pisang.

Meski cuma pisang, wajah-wajah lapar yang banyak di antaranya menyimpan pengalaman traumatis dalam hidupnya, sudah bersiap berburu mendapatkan bagian bantuan. Awalnya dibuat serapi mungkin, kemudian pisang-pisang itu dibagikan dalam kondisi yang agak kacau karena para pengungsi yang umumnya menempuh berhari-hari untuk sampai ke Bangladesh melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh yang seram itu sudah tidak bisa lagi sabar menunggu antrean untuk bantuan apa pun yang diberikan tim-tim kemanusiaan.

"Biasanya sebelum menyalurkan bantuan, kami berembuk terlebih dahulu dengan orang yang dituakan atau tentara. Akan tetapi, kali ini keduanya tidak ada. Akhirnya, penyaluran bantuan pun menjadi tidak merata," kata Herlan Wirlandari, Direktur Relawan Rumah Zakat.

Rumah Zakat tidak jera dengan pengalaman yang kurang memuaskan itu. Pada hari ini, seperti lembaga bantuan kemanusiaan lainnya, baik dari sesama Indonesia, luar negeri lainnya, maupun dari Bangladesh sendiri, mereka akan kembali menyalurkan bantuan.

Sudah triliunan rupiah mengalir ke Bangladesh dari seantero jagat. Akan tetapi, tampaknya itu belum pernah bisa disebut cukup untuk membantu ratusan ribu pengungsi dari Rakhine, Myanmar itu.

Di antara yang menjadi keprihatian dunia adalah ratusan ribu anak yang banyak di antaranya sudah tak beribu atau berayah, atau bahkan tanpa keduanya. Badan PBB untuk pendidikan dan anak-anak, UNICEF, bahkan menyebutkan 60 persen pengungsi baru yang terus mengalir dari Myanmar ke Bangladesh adalah anak-anak.

Bahkan, jauh sebelum eksodus pengungsi sebagai dampak dari operasi militer Myanmar pascaserangan pemberontak Arakan ke pos-pos polisi Myanmar pada tanggal 24 Agustus silam itu, ratusan ribu pengungsi Rohingya lainnya sebelum mereka sudah tertahan di wilayah Bangladesh selama bertahun-tahun tanpa tahu kapan bisa kembali ke tanah kelahirannya di Rakhine.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement