REPUBLIKA.CO.ID, Pernah terbayang apa jadinya jika semalam tadi, rumah satu-satunya yang kita tempati, digedor-gedor oleh serdadu, mendadak ada “tamu” yang sama sekali tak diinginkan. Kemudian mereka – tamu tak diundang itu – memaksa kita untuk segera keluar dari rumah.
Dengan segala paksaan, dengan letupan senjata api yang menghunus perut, bahkan melenyapkan nyawa si ayah. Tangis pun meledak. Hanya hitungan menit, perintah untuk segera keluar dari rumah itu berujung pada pembakaran, rumah satu-satunya dibakar habis.
Lebih tragis lagi, satu kampung sudah dibakar, habis tidak bersisa. Dalam malam yang gelap itu, si ibu, anak-anak, dan balita, jumlahnya mungkin seribuan jiwa dalam satu kampung disuruh untuk pergi tanpa alasan yang jelas. Tanah yang selama ini dihidupi sebagai tanah kelahiran tak lagi boleh dipijak.
Serdadu beringas itu, tak lagi peduli kalau ada bayi yang baru saja terlahir hari kemarin, sehari sebelum pembakaran rumah dan kampung. Si bayi dan ibunya pun dipaksa untuk pergi minggat dari tanah kelahiran. Ini bukan cerita fiksi, episode cerita di atas benar-benar nyata. Peristiwa itu sedang terjadi, bahkan masih terus terjadi sampai laporan ini diunggah.
Episode kejam itu benar-benar sedang dialami oleh setengah juta pengungsi baru Rohingya. Hanya dalam waktu kurang lebih lima pekan, terhitung sejak konflik meletup kembali tanggal 25 Agustus 2017, setengah juta pengungsi baru - orang-orang Rohingya - minggat dari tanah kelahiran mereka di Maungdaw. Juga dari beberapa kampung lain di Rakhine State, Myanmar.
Ada di mana lagi tempat aman selain menyeberang ke seberang? Batas antara Maungdaw dan negeri Bangladesh hanya sebatas aliran sungai nan lebar, sungai yang dikenal dengan sebutan Sungai Naf. Pilihannya hanya tenggelam menyeberangi sungai, atau menggunakan perahu kayu nan rapuh untuk melintasi batas. Ketika sudah sampai di seberang, maka status berubah menjadi pengungsi, dari kaum paling tertindas di dunia: orang-orang Rohingya.
Tiba dengan tangis di Shah Porir Dwip Lari dari kampung, lari mengungsi, lari karena ketakutan yang begitu mendalam, imaji itu yang benar-benar tertangkap. Nalar siapa pun yang pertama kali melihat wajah-wajah pilu ribuan orang-orang Rohingya itu mesti merasakan pilu yang sama.
Di mana letak kemanusiaan itu ketika ada seorang ibunda, di depan mata, rela berjalan kaki dan menumpang perahu lebih dari 7 hari perjalanan, sembari menggendong bayinya yang baru berusia tak lebih dari 3 pekan? Bayi itu masih merah, bahkan belum diberi nama. Demikian dilaporkan Tim ACTNews dari Shah Porir Dwip, sebuah titik perbatasan antara Bangladesh dengan Myanmar, dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id.
Dari sisi geografis, Shah Porir Dwip berada paling selatan dari Bangladesh, gerbang perbatasan ini pula yang menjadi area paling dekat dengan Maungdaw, kampung dari setengah juta lebih orang Rohingya. Ahad kemarin (15/10),Tim ACTNews menyimak langsung betapa perjuangan untuk mencapai titik zero line di Shah Porir Dwip ini begitu menyiksa.
Seorang ibu yang tak ingin disebut namanya, baru saja tiba di kamp terdekat dari zero line. Sehari yang lalu, ia baru saja tiba di kamp ini. Perjalanan panjang lebih dari 7 hari ditempuh setelah terusir dari kampung. Satu hal yang membuat miris, bayi si ibu ini masih sangat-sangat rapuh, merah, belum diberi nama sama sekali.
Ayah dari bayi malang ini tak diketahui lagi nasibnya sampai hari ini. Kemungkinan besar, sudah diburu oleh serdadu Myanmar, diberondong peluru.
Ada pula cerita tentang seorang bocah lelaki Rohingya yang kami temui masih di wilayah Shah Porir Dwip. Bocah ini malu-malu ketika ditanya siapa namanya. Satu hal yang membuat bocah Rohingya ini berbeda, adalah iris matanya yang luar biasa indah.
Iris matanya merupakan salah satu warna iris paling langka di dunia, dan si bocah ini memilikinya. Dari matanya yang bersinar, seperti tak pernah ada gambaran pilu yang dirasakan. Padahal kampung, rumah, bahkan ayahanda di Rakhine State tak pernah diketahui lagi bagaimana nasibnya. Allah memang Maha Adil.
Tanah Shah Porir Dwip kini memang menjadi harapan baru, meski masalah tentang nasib orang-orang Rohingya tak pernah ada yang bisa menjamin bakal menjadi seperti apa. Jumlah pengungsi makin hari makin membeludak. Ribuan jiwa terus berdatangan meminta perlindungan ke Bangladesh setiap harinya. Insya Allah, Aksi Cepat Tanggap (ACT) masih akan terus berada di Distrik Cox’s Bazar.
Aksi-aksi jangka pendek berupa penyaluran sandang dan pangan senantiasa dilaksanakan. Tidak ketinggalan, ACT juga tengah memulai aksi besar jangka panjang dalam bentuk penyiapan papan yang layak bagi ribuan keluarga pengungsi Rohingya.