Selasa 05 Dec 2017 16:03 WIB

Dibunuh Houthi, Saleh Gagal Jalankan Tekad Akhiri Perang Yaman

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Ali Abdullah Saleh
Foto: AP
Aksi demonstrasi menuntut mundur Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh.

Kematian demonstran tentu menimbulkan kemarahan publik dan memaksa pengunduran diri massal sejumlah menteri pemerintah dan pejabat tinggi militer. Saleh, yang sebelumnya menolak proposal dari kelompok oposisi yang memintanya meninggalkan kekuasaan dengan damai, mengindikasikan rencananya untuk mengundurkan diri pada Maret 2011.

Namun sebulan kemudian, Saleh mengubah taktik. Ia setuju untuk menandatangani sebuah kesepakatan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), yang memberikan kekebalan hukum terhadapnya dan mempersilakan oposisi untuk bergabung dalam koalisi partai yang berkuasa.

Saat oposisi mendukung kesepakatan tersebut, Saleh balik menolak menandatanganinya dalam tiga kesempatan berbeda, sehingga memicu keresahan. Akhirnya, demonstrasi berhasil memaksa Saleh untuk menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abd Rabbou Mansour Hadi, untuk periode dua tahun sebagai bagian dari kesepakatan transisi GCC.

Transisi politik itu tidak berpengaruh apa-apa di negara yang sedang dilanda pengangguran massal, keresahan pangan, serangan bom bunuh diri, dan gerakan separatis yang berkembang di wilayah selatan.

Pada 2012, Hadi menjadi kandidat tunggal dalam kampanye kepresidenan Yaman. Pemilihan umum diboikot oleh kelompok oposisi, termasuk Syiah Houthi dan separatis Gerakan Selatan.

Meski demikian, dengan jumlah pemilih 65 persen, Hadi resmi menjadi presiden yang diakui oleh masyarakat internasional. Presiden baru ini berjuang untuk memaksakan otoritasnya.

Ketika aliansi baru terbentuk, pemberontak Houthi dan para pendukung Saleh, yang sebelumnya berselisih, kini bekerja sama untuk melawan pasukan yang setia kepada pemerintahan Hadi. Pada September 2014, Houthi yang didukung Iran mengambil alih ibu kota Yaman, Sanaa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement