Rabu 27 Dec 2017 17:54 WIB

Kebencian yang Mengakar di Myanmar Terhadap Muslim Rohingya

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Seorang pengungsi muslim Rohingya bersama anaknya tertahan di perbatasan, setelah tentara Bangladesh melarang mereka bergerak menuju kamp pengungsian di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto:
Aung San Suu Kyi

Matthew Walton, seorang profesor dan pakar Myanmar di Universitas Oxford, mengatakan saat ARSA muncul, hal itu bahkan telah memungkinkan ajaran pro-perdamaian. Yang mana, orang-orang pro-antaragama di negara tersebut ingin menghapuskan Rohingya sebagai sebuah ancaman teroris, tidak peduli betapa tidak masuk akalnya hal itu.

"Dalam kasus ini, pejabat pemerintah memiliki perasaan yang sangat baik tentang sentimen publik, jadi hampir tidak ada yang keberatan dengan sesuatu yang buruk tentang Rohingya," kata Walton.

Ada sedikit kegaduhan pada Oktober lalu, setelah salah satu biksu paling berpengaruh di negara itu, Sitagu Sayadaw, berpidato di sebuah pangkalan militer. Saat itu, dia tampaknya membenarkan tindakan pembersihan etnis. Dia mengajukan sebuah perumpamaan tentang seorang raja Sri Lanka kuno yang disarankan untuk tidak bersedih karena banyaknya orang Hindu yang dia bunuh dalam pertempuran, karena anggapannya bahwa orang-orang non-Budha bukanlah manusia.

Myawady Sayadaw mengatakan, kata-kata pendeta sesamanya itu "berbahaya." Namun, sesaat kemudian dia menuduh media internasional telah membesar-besarkan kasus kekerasan terhadap Rohingya.

"Orang luar seharusnya tidak menyalahkan negara kita dengan begitu mudah. Kita perlu mencari kebenaran di negara bagian Rakhine. Saya tidak percaya laporan media, dan orang-orang kita juga tidak mempercayainya," kata Myawady Sayadaw, menanggapi ucapan Sitagu Sayadaw.

Sementara itu, Aung San Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang menghabiskan waktu bertahun-tahun di bawah tahanan rumah dan kini memimpin pemerintah sipil, telah diserang secara internasional karena membela militer. Namun demikian, ia tetap menjadi politisi paling populer di Myanmar.

Dari belasan kelompok etnis minoritas yang telah lama berjuang melawan tentara untuk mendapatkan hak yang lebih besar, hanya satu - organisasi wanita yang mewakili etnis Karen, yang kebanyakan beragama Kristen - telah mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengecam kampanye militer melawan Rohingya.

Dari belasan kelompok etnis minoritas yang telah lama berjuang melawan tentara untuk mendapatkan hak yang lebih besar, hanya ada satu organisasi wanita yang mewakili etnis Karen yang telah mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengecam kampanye militer melawan Rohingya. Kebanyakan dari etnis Karen itu beragama Kristen.

Sebagai salah satu dari sedikit aktivis Myanmar yang memperjuangkan kasus Rohingya, Thet Swe Win (31), justru diserang di media sosial. Kelompok nasionalis telah memberi label kepadanya sebagai "belatung atau ulat". Mereka juga menuduhnya menerima suap dari negara-negara Muslim. Sementara itu, ibu Swe Win mengatakan bahwa dia tidak dapat mendukung pekerjaannya. Di sisi lain, teman-temannya pun meninggalkannya.

"Sebagian besar orang di Burma, semua informasi yang mereka dapatkan berasal dari propaganda pemerintah dan dari kelompok nasionalis. Jadi, bagaimana kebanyakan orang Burma percaya bahwa orang-orang Rohingya bukan berasal dari negara kita," kata Swe Win.

Ketika kelompok militer mengambil alih kekuasaan pada 1962, mulailah muncul narasi bahwa Rohingya dibawa ke Myanmar secara ilegal oleh penguasa kolonial Inggris. Yang mana, Inggris saat itu disebutkan menggunakan buruh dari India dan Bangladesh untuk membangun jalan dan infrastruktur. Para jenderal menciptakan sistem pendidikan yang menanamkan kefanatikan di generasi anak sekolah.

Seorang warga Rohingya, Wakar Uddin, mengingat pelajaran semacam itu saat ia mengeyam bangku kelas enam SD di Rakhine pada akhir 1960an. Saat itu, di kelasnya membaca sebuah cerita yang menggambarkan orang India sebagai penyapu jalanan kotor dengan ciri-ciri mengerikan. Uddin ingat penggunaan bebas dari kata penghinaan 'kalar', yang digunakan untuk menggambarkan orang berkulit gelap. Kemudian ketika guru membaca dari buku tersebut, para siswa Budha tertawa dan bertepuk tangan. Uddin adalah seorang profesor biologi di Penn State yang mengarahkan Serikat Arakan Rohingya, sebuah kelompok advokasi.

"Buku itu adalah racun. Lebih dari 50 atau 60 tahun, tentara menyediakan lahan subur untuk kebencian, dan memasukkannya ke dalam pikiran siswa kelas tiga atau keempat yang membawakan anda hasil yang kita lihat hari ini," kata Uddin.

Bahkan saat pemerintah Myanmar dan Bangladesh melanjutkan sebuah rencana untuk memulangkan pengungsi Rohingya mulai Januari nanti, iklim kebencian yang didukung oleh negara membuat semuanya tidak mungkin membayangkan banyak orang dapat kembali.

"Jika kita adalah umat Budha, mayoritas Bamar akan mengambil bagian kita. Tapi kami Muslim. Mereka tidak ingin populasi ini di negara tersebut. Ini adalah kebijakan nasional," kata Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar pada usia 16 dan sekarang tinggal di Jerman.

Pejabat publik dapat mengatakan apa saja tentang Rohingya tanpa rasa takut itu akan mengurangi kekuasaan mereka. Pada 2009, konsulat Jenderal Myanmar di Hong Kong menulis sebuah surat kepada diplomat asing, dengan menyebut Rohingya "jelek seperti raksasa" dengan "kulit coklat gelap." (Sebaliknya, katanya, kulitnya sendiri "cerah dan lembut, dan juga terlihat bagus"). Namun, faktanya komentar itu tidak lantas merusak kariernya. Pemerintah militer bahkan kemudian menunjuknya sebagai duta besar Myanmar untuk Swiss.

Tahun ini, ketika seorang anggota dewan negara bagian Rakhine ditanya oleh seorang wartawan BBC tentang tentara yang secara seksual menyerang wanita Rohingya, dia justru tertawa terkikih-kikih. Ia mengatakan, tentara tidak bisa melakukan pemerkosaan massal, karena wanita Rohingya "sangat kotor".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement