REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Ketua sebuah organisasi terkemuka yang berbasis di Amerika Serikat mengatakan, bahwa sanksi yang ditargetkan dan terbatas tidak akan menghentikan kampanye Myanmar untuk menindas kaum Muslim Rohingya. Dalam sebuah konferensi pers di Washington pada Senin lalu, ketua Satuan Tugas AS di Burma, Imam Abdul Malik Mujahid mengatakan militer Myanmar tidak akan menghentikan serangan konstan terhadap Muslim Rohingya. Kecuali, AS dan PBB memberlakukan sanksi penuh terhadap Myanmar. Imam Abdul Malik merupakan advocat bagi Muslim Rohingya.
"Permintaan kami dari Amerika, Senat, dan Kongres adalah bahwa mereka harus mengeluarkan sebuah undang-undang yang memerlukan sanksi penuh atas Burma (nama lain untuk Myanmar), dan mereka harus menggunakan setiap cara yang ada. Myanmar tidak akan mendengarkan kecuali sanksi ekonomi penuh diterapkan," kata Imam Abdul Malik, dilansir dari Anadolu Agency, Rabu (10/1).
Menurut PBB, lebih dari 656 ribu pengungsi Rohingya, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus lalu. Saat itu pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine.
Para pengungsi tersebut digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling banyak dianiaya di dunia. Mereka melarikan diri dari sebuah operasi militer, di mana pasukan keamanan dan gerombolan orang-orang Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak, menjarah rumah dan membakar desa Rohingya.
Menurut Doctors Without Borders, setidaknya sembilan ribu warga Rohingya tewas di negara bagian Rakhine dari 25 Agustus sampai 24 September 2017 lalu. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 12 Desember 2017, organisasi kemanusiaan global mengatakan bahwa kematian dari 71,7 persen atau 6.700 warga Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka di antaranya termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
PBB telah mendokumentasikan adanya pemerkosaan massal, pembunuhan (termasuk bayi dan anak kecil), pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh petugas keamanan Myanmar. Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut bisa dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Mengacu pada Konselor Myanmar saat ini Aung San Suu Kyi yang juga dipenjara selama puluhan tahun oleh penguasa militer, Mujahid mengatakan bahwa militer harus menerima Suu Kyi sebagai pemimpin parsial karena sanksi AS. Hal ini terjadi karena perekonomian yang dikontrol militer Myanmar yang menjadi lesu, yang disebabkan oleh sanksi tersebut. Mujahid menambahkan, bahwa makanan dan obat-obatan seharusnya merupakan satu-satunya hal yang dikecualikan dari sanksi tersebut.
Kesepakatan Baru tentang Kewarganegaraan dan Hak Etnik
Direktur Rohingya American Society (RAS), Shaukhat Ali, sangat mengkritik kesepakatan pada November lalu antara Bangladesh dan Myanmar terkait pengiriman kembali pengungsi Rohingya ke Myanmar. Ia mengatakan, bahwa kesepakatan tersebut gagal untuk menangani masalah hak-hak dasar sipil secara tepat, seperti kewarganegaraan dan hak etnik.
Menurutnya, satu-satunya yang disebutkan dalam kesepakatan tersebut adalah 'penduduk Myanmar'. Hal itu berarti penduduk sementara, dan bahwa mereka (orang Rohingya) bukan bagian dari Myanmar dan bukan milik Myanmar. Berdasarkan kesepakatan itu, mereka dikatakan hanya sebagai pengunjung.
"Pemerintah Myanmar dengan sengaja menerima orang-orang ini kembali untuk menghindari tekanan internasional," kata Ali.
Dia menekankan, bahwa pengungsi Rohingya tidak siap untuk kembali ke Myanmar. Kecuali, jika keamanan mereka sepenuhnya tersedia, kewarganegaraan mereka dipulihkan, dan mereka diizinkan untuk tinggal di tanah mereka tanpa menderita penganiayaan apapun. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, ia menilai langkah kembali ke Myanmar itu hanya sebagai permainan. Yang mana, mereka melemparkan orang keluar dan menerima mereka kembali.
"Mereka membuang ratusan ribu orang Rohingya, tapi mereka menerima jauh lebih sedikit dari pada itu saat kembali. Jadi setiap kali lebih banyak orang dilempar keluar dan jumlah yang lebih kecil diterima kembali. Begitulah cara mereka menghapus orang-orang ini," tambahnya.
Pada akhir November 2017, Myanmar dan Bangladesh menandatangani sebuah kesepakatan untuk kembalinya Muslim Rohingya yang melintasi perbatasan sejak akhir Agustus.
Mendorong Parlemen AS Tekan Myanmar
Direktur penjangkauan pada Burma Task Force, Adam Marro, mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan di Washington benar-benar untuk membantu mendidik semua anggota parlemen di Kongres dan Senat AS tentang apa yang tengah terjadi di negara bagian Rakhine. Ia menggambarkan kerja dari kelompok tersebut sebagai langkah yang sangat sukses. Marro mengatakan, ada banyak minat tentang situasi Muslim Rohingya, khususnya di Komite Hubungan Luar Negeri Senat. Menurutnya, mereka sangat ingin membantu mendukung usaha dari kelompok ini.
"Kami akan terus mengadakan pertemuan tersebut, terutama untuk sanksi terhadap Myanmar. Kami ingin memastikan bahwa kita bisa mendapatkan sanksi yang sebenarnya akan dirasakan dan menimbulkan rasa sakit di Myanmar," kata Marro.
LSM Burma Task Force diluncurkan pada 2013 oleh sejumlah kelompok Muslim terkemuka di Amerika. Tujuan dibentuknya lembaga NGO itu adalah untuk menghentikan pembersihan etnis yang terjadi di Myanmar , dan mendidik orang Amerika tentang kekejaman yang dihadapi oleh Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. (Kiki Sakinah)