Jumat 11 May 2018 01:07 WIB

Eropa akan Pertahankan Kesepakatan Nuklir Iran

AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.
Foto: Reuters/ISNA/Hamid Forootan/Files
Proyek reaktor nuklir Arak di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Eropa masih berupaya mempertahankan kesepakatan nuklir Iran atau dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Hal ini dilakukan setelah Donald Trump memutuskan menarik Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan tersebut pada Selasa (8/5) lalu.

Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mengatakan mundurnya AS dari kesepakatan nuklir Iran tidak serta merta membubarkan kesepakatan tersebut. "Kesepakatan itu tidak mati. Ada penarikan Amerika dari kesepakatan itu, tetapi kesepakatan itu masih ada," katanya pada Rabu (9/5).

Kendati demikian, Le Drian tak menampik bahwa dirinya cukup kecewa atas keputusan Trump. Menurutnya, keputusan tersebut dapat berdampak pada stabilitas di kawasan.

"Kawasan itu lebih baik daripada destabilisasi lebih lanjut yang dipicu oleh penarikan Amerika," ucapnya.

Hal ini pun diutarakan Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Keduanya mengaku menyayangkan dan prihatin atas keputusan yang diambil Trump.

Merkel mengatakan untuk sementara waktu kesepakatan nuklir yang ada tidak boleh dipertanyakan. Walaupun ia menyarankan harus segera ada diskusi untuk kesepakatan dengan cakupan lebih luas dan melampaui yang sebelumnya.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengungkapkan hal senada dengan Merkel. Ia menginginkan terdapat diskusi yang lebih luas dengan semua pihak terkait mengenai pengembangan program nuklir Iran setelah 2025, yakni ketika elemen kunci dari kesepakatan saat ini mulai berakhir. Diskusi akan mencakup program rudal balistik Iran dan isu-isu Timur Tengah yang lebih luas.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson telah mengusulkan tentang perjanjian lanjutan terkait kesepakatan nuklir Iran. Namun ia mengatakan hal ini terserah kepada AS untuk datang dengan proposal konkret.

Menteri Pertahanan AS Jim Mattis telah mengisyaratkan bahwa negaranya mungkin saja bersedia merevisi kembali kesepakatan nuklir Iran setelah keputusan yang dibuat Trump. "Kami sekarang memiliki kesempatan untuk bergerak maju guna mengatasi kekurangan-kekurangan (kesepakatan) itu dan membuatnya lebih menarik," ujarnya.

Kendati Eropa telah menyatakan minatnya untuk mempertahankan kesepakatan nuklir, namun Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan kesempatan mereka terbatas. "(Eropa) harus, secepat mungkin, memperjelas posisinya dan menentukan serta mengumumkan niatnya berkenaan dengan kewajibannya," kata Rouhani.

Namun di saat bersamaan, Iran, kata dia, akan tetap menjalin negosiasi dengan negara-negara Uni Eropa, Cina, dan Rusia. "Jika pada akhir periode yang singkat ini kami menyimpulkan bahwa kami dapat sepenuhnya memanfaatkan JCPOA dengan kerja sama semua negara, kesepakatan akan tetap ada," ujar Rouhani.

Kesepakatan nuklir Iran ditandatangani Iran bersama Prancis, Inggris, AS, Jerman, Cina, Rusia, dan Uni Eropa pada Oktober 2015. Kesepakatan ini mulai berlaku atau dilaksanakan pada 2016.

Kesepakatan ini tercapai melalui negosiasi yang cukup panjang. Tujuan utama dari kesepakatan ini adalah memastikan bahwa penggunaan nuklir oleh Iran hanya terbatas untuk kepentingan sipil, bukan militer. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi dan embargo yang dijatuhkan terhadap Teheran akan dicabut.

Namun Trump telah berkali-kali menyatakan ketidakpuasannya terhadap kesepakatan ini. Hal ini karena dalam kesepakatan tersebut tak dibahas perihal program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah.

Ini menjadi alasan Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran. Gedung Putih juga telah menyatakan bahwa saat ini Trump tengah mempersiapkan sanksi ekonomi baru untuk Iran, termasuk negara atau perusahaan yang menjalin bisnis dengan Teheran.

Inggris, Prancis, dan Jerman mengatakan mereka akan melakukan semua yang mereka bisa untuk melindungi kepentingan bisnisnya di Iran. Kendati demikian ketiga negara belum mengetahui berapa banyak perusahaannya yang dapat dilindungi dari sanksi AS.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement