Kamis 01 Nov 2018 18:46 WIB

Sindrom Mematikan Intai Bayi-Bayi Gaza

Penyebab utama krisis kesehatan ini yakni kepungan ekonomi oleh Israel

Warga di Kamp Pengungsi Jabaliya mengendarai kereta keledai di utara Jalur Gaza, Kamis (16/2).
Foto: Khalil Hamra/AP
Warga di Kamp Pengungsi Jabaliya mengendarai kereta keledai di utara Jalur Gaza, Kamis (16/2).

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang dokter yang tampaknya tidak sempat bercukur memasuki bangsal anak-anak di rumah sakit al-Nassar, Gaza City. Lingkaran hitam terlihat di bawah matanya. Saat itu, Aljazirah mencatat, Kamis (25/10), nyaris akhir pekan.

Bangsal tampak senyap dan sedikit mencekam, tetapi sesekali suara lolong tangis anak terdengar. Di setiap bilik yang hanya dibatasi tirai, pemandangan nyaris sama: seorang bayi berbaring sendirian di tempat tidur, terhubung ke selang, kabel, dan generator. Sementara, seorang ibu hanya duduk terdiam di sampingnya.

Dokter Mohamad Abu Samia adalah direktur di bagian anak-anak. Ia pun bertukar kata dengan seorang ibu. Lalu, ia mengangkat kain penutup si bayi. Luka parut akibat bedah jantung terlihat melintang di hampir separuh tubuh si bayi. "Kami sangat sibuk," ujar dokter yang tampak kewalahan ini. "Bayi-bayi menderita dehidrasi akibat muntah, diare, demam," ujarnya.

Kasus diare memang melejit di Gaza. Diare adalah pembunuh nomor dua di dunia, khususnya untuk anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Krisis air di Gaza membuat anak mengalami penyakit yang serius. Menurut Samia, ada peningkatan tajam dalam gastroenteritis, penyakit ginjal, kanker pediatrik, marammus, gizi buruk, dan sindrom bayi biru, yaitu penyakit yang menyebabkan bibir, wajah, dan kulit membiru serta darah berwarna cokelat.

Sebelumnya, kata Samia, dalam lima tahun hanya ada satu atau dua kasus sindrom bayi yang membiru. Kini sebalik nya, ada lima kasus dalam satu tahun. Ketika ia ditanya apakah pernyataannya didukung riset, ia menukas, "Kami tinggal di Gaza dalam kondisi darurat. Kami punya waktu hanya untuk meringankan penyakit, bukan untuk meneliti."

Angka kematian anak dari catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Palestina mendukung temuan Samia. Data tersebut menunjukkan terdapat dua kali lipat penyakit diare, yang meningkat menjadi wabah.

Kasus yang juga meningkat pada musim panas lalu adalah infeksi salmonela dan demam tifoid. Jurnal-jurnal medis independen juga mencatat peningkatan angka kematian bayi dan tumbuh kembang yang terhenti. Hal itu dinilai sebagai bahaya besar di antara anak-anak Gaza.

Sebuah studi Rand Corporation menemukan bahwa air yang buruk merupakan penyebab utama kematian anak di Gaza. Sederhananya, anak-anak Gaza menghadapi wabah kematian anak pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. "Begitu banyak penderitaan," ujar dokter Samia.

Berbagai faktor kerap disalahkan atas krisis kesehatan yang mengikis anak-anak Gaza. Namun, para pakar medis sepakat, penyebab utama krisis kesehatan ini yakni kepungan ekonomi oleh Israel, air minum yang langka, dan air yang terkontaminasi bahan-bahan racun akibat bom-bom yang diledakkan oleh Israel di Gaza.

Bom telah menghancurkan infrastuktur limbah dan akuifer. Sebanyak 97 persen sumur air minum Gaza berada di bawah standar kesehatan minimal untuk konsumsi manusia.

Direktur pengobatan pencegahan di Kemenkes Palestina, Dokter Majdi Dhair, melaporkan terjadi peningkatan besar pada penyakit yang disebabkan dari air. "Ini sangat tekait dari air minum yang dikonsumsi dan adanya pencemaran dari air limbah yang tidak diolah, mengalir langsung ke Mediterania," ujarnya.

Kunjungan ke barak pengungsi yang padat memberikan jawabannya. Di Shati, 87 ribu pengungsi Shati—akibat terusir sejak Israel berdiri pada 1948—hidup berjejalan di lahan seluas setengah kilometer persegi. "Air dan Listrik? Lupakan saja," ujar Atef Nimnim, seorang pengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement