Senin 18 Mar 2019 13:13 WIB

Kedamaian Muslim Christchurch yang Terkoyak Peluru

Masjid Al Noor di Christchurch dikenal karena membuka pintu bagi semua kalangan.

Rep: Umi Soliha/ Red: Ani Nursalikah
 File foto tidak bertanggal menunjukkan Masjid Al Noor di Deans Avenue, tempat penembakan massal, di Christchurch, Selandia Baru, (15/3/2019).
Foto: EPA
Teror Masjid Christchurch. Suasana di depan masjid Al Noor di Jalan Deans, Christchurch, Sabtu (16/3), sehari usai insiden teror yang menewaskan 49 orang.

Sepanjang  1990-an, lebih banyak Muslim bermigrasi ke Canterbury, kebanyakan adalah pengungsi dari Somalia dan Afghanistan. Meskipun populasi Muslim meningkat, mereka terdiri dari banyak kelompok budaya dan ras yang berbeda, Masjid Al Noor tetap menjadi satu-satunya masjid di Christchurch. Meskipun ada ketegangan sesekali, tidak pernah ada perpecahan.

"Dalam banyak hal komunitas Muslim menyerupai keluarga besar atau mungkin klan atau suku. Kadang-kadang fungsional, kadang-kadang tidak berfungsi, dengan individu-individu masuk dan keluar secara bergantian," tulis Drury dalam tesisnya.

Sepanjang 2000-an, komunitas Muslim Christchurch mendapati dirinya bersikap defensif, mengikuti gelombang sentimen anti-Muslim di seluruh Barat yang sebagian diperburuk oleh liputan media. Muslim Christchurch dengan suara bulat mengutuk ekstremisme kekerasan dan melanjutkan penjangkauan mereka ke komunitas yang lebih luas. Tiga pekan setelah serangan September 2001 di Amerika Serikat, seorang wartawan mengunjungi Masjid Al Noor, tempat para pemimpin Muslim berbagi kekecewaan mereka.

"Islam mengutuk tindakan apa pun yang mendorong ketidakharmonisan di dalam komunitas dan di antara umat manusia," kata Sheikh Abdulrahman yang saat itu menjadi imam masjid.

Banyak Muslim turun tangan langsung ketika gempa bumi pertama melanda Canterbury pada September 2010. Saat itu adalah pekan ketiga Ramadhan. Mereka bergabung dengan agama lain untuk menunjukkan solidaritas kepada 185 korban serta Gereja Anglikan yang kehilangan pusat ibadah utamanya, Katedral Gereja Kristus.

photo
Petugas kepolisian berjaga didekat bunga yang diletakkan warga di depan Masjid Wellington, Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Sabtu (16/3/2019).

Sebelum pembantaian sadis Jumat (15/3) lalu, para pemimpin komunitas Muslim Christchurch menegaskan kembali komitmen mereka terhadap perdamaian setelah serangan teroris di Paris yang menewaskan 130 orang. Dalam wawancara 2016 dengan Migrant Times, Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda kembali menolak ekstremisme.

"Orang-orang perlu belajar tentang Islam dari cendekiawan otentik yang mewakili Islam sejati, bukan dari mereka yang menyebut diri mereka Muslim, tetapi bersembunyi di balik agama dan menggunakannya untuk memaksakan agenda mereka sendiri dan menciptakan kekacauan," katanya.

Ia menambahkan, kelompok-kelompok tersebut yang menyebut diri mereka negara Islam. Tidak sampai 2017, komunitas Muslim di Christchurch menjadi begitu besar sehingga memerlukan masjid lagi.

Linwood Islamic Center secara resmi didirikan pada 2018 di sebuah gedung di Linwood Ave yang menampung Linwood Community Center. Itu adalah program yang dipimpin oleh Ibrahim Abdelhalim dari Mesir.

Pada 2018, komunitas Muslim mengumpulkan uang untuk membeli bangunan. Mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 400 ribu dolar AS.  Mereka merenovasi bagian dalam gedung yang sudah tidak layak dan memasang karpet baru.

Pada Jumat, 80 orang berada di masjid yang baru selesai direnovasi untuk melaksanakan shalat Jumat.  Abdelhalim, salah satu orang yang membangun masjid Linwood mengatakan kepda wartawan umat Muslim tidak akan berhenti datang ke masjid meskipun telah terjadi penembakan brutal ini.

"Kami tidak akan pernah berhenti pergi ke masjid untuk berdoa kepada Tuhan karena negara ini menerima semua agama. Semua orang yang datang dari setiap kebangsaan, setiap bahasa. Kami adalah bagian dari Selandia Baru, meskipun para anti-Islam dan anti-Imigran menerima itu atau tidak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement