Kamis 20 Feb 2020 09:25 WIB

Apa Kata Warga Indonesia yang Harus Habiskan Masa Tuanya di Australia?

Kekhawatiran terbesar adalah perasaan kesepian dan tak ada yang mengurus jika tua.

Red:
.
.

Menghabiskan pensiun dan masa tua di luar negeri tentunya tidaklah akan senyaman di negeri sendiri. Karenanya, sejumlah warga senior asal Indonesia berupaya untuk saling membantu dengan membentuk berbagai perkumpulan dengan aktivitas yang menarik.

  • Lansia Indonesia di Australia aktif cari kegiatan sosial
  • Organisasi lansia Indonesia di Sydney berkembang
  • Fasilitas dan akses bagi lansia di Australia lebih memadai dari Indonesia

 

Usianya baru 40 tahun, tapi Febi Amalia asal Jakarta yang kini tinggal di Brisbane sudah mulai memikirkan akan seperti apa masa tuanya nanti, jika ia memutuskan menetap di Australia selamanya.

Ia mengaku kekhawatiran terbesarnya adalah perasaan kesepian dan tak ada yang mengurus jika sudah tua nanti.

"Saya sering mendengar kalau di [Australia], kebanyakan anak-anak mengirimkan orang tuanya yang lanjut usia ke panti jompo," ujarnya kepada ABC Indonesia.

"Tentu ada perasaan takut dan enggan, karena di keluarga kami di Jakarta dan Bandung, tidak ada orang tua yang dikirim ke panti jompo," kata Febi yang sudah tinggal 10 tahun di Australia.

Dilema lansia Indonesia di Australia

Jika Febi baru sekedar khawatir dengan hari tua-nya, dua warga Indonesia di Australia, yakni Din Diradji dan Suharto sudah mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi lansia di Australia.

Din yang berusia 83 tahun sekarang hanya tinggal berdua dengan istrinya di Melbourne, tapi masih sering menerima kunjungan anak-anaknya.

"Selama ini saya memang masih tinggal di rumah, dan mudah-mudahan terus demikian. Kalau saya bisa memilih, saya memilih tinggal di rumah sendiri," kata Din kepada Natasya Salim dari ABC News.

"Karena kalau di rumah sendiri kita lebih bebas mau melakukan apa saja, sedangkan kalau di rumah jompo itu masih cocok-cocokan."

 

Sementara Suharto yang kini berusia 80 tahun dan tinggal di Adelade masih memikirkan tempat terbaik untuk menghabiskan masa tuanya.

Ia juga tinggal berdua dengan istrinya di rumah sendiri, tapi sekarang sudah mengerti jika ia harus menetap di panti jompo ketika sudah waktunya.

"Memang seharusnya seperti itu [masuk panti jompo]. Anak-anak mungkin tidak cukup waktu untuk mengurus kami, jadi kasihan juga," kata Suharto.

"Kalau tidak ada yang mengurus, harus masuk ke panti jompo. Harus itu. Kalau anak-anak memang tidak mau [mengurus], bagaimana?"

'Kumpul-kumpul' lansia Indonesia

 

Meski memiliki keputusan berbeda tentang di mana harus menghabiskan hari tua, keduanya memiliki kesadaran yang sama tentang kebutuhan sosial para lansia dari Indonesia di Australia.

Din adalah salah satu pengelola organisasi informal bernama Lansia Melbourne yang terkadang mengadakan acara pertemuan sederhana bagi lansia.

"Manusia itu kan perlu sosialisasi, kita kan makhluk sosial, jadi kalau bertemu dengan teman-teman apalagi sudah kenal lama begitu, ngomong 'ngalor ngidul' atau tanpa arah, kan senang," kata Din.

Sedangkan di Adelaide, Suharto sudah 10 tahun menjadi ketua dari perkumpulan lansia resmi bernama 'Lansia South Australia Inc'.

Meski tujuan dibentuknya sederhana, organisasi yang beranggotakan 45-50 orang di usia 50 tahun ke atas ini juga bersifat informatif.

"Kami juga mendatangkan pembicara tamu, misalnya dari bidang perpajakan, kesehatan, ataupun hobi berkebun."

Suharto mengatakan dengan menghadirkan pembicara dari beragam keahlian, warga lansia dapat belajar satu atau dua hal yang berguna.

"Misalkan kalau pembicaranya dari bidang perpajakan, akan mengajari cara menyusun pajak sebaik mungkin karena lansia sudah tidak pintar komputer lagi," kata Suharto.

"Kami pernah dibawa ke kebun untuk mendengarkan ilmu berkebun. Ketika pembicaranya dokter gigi, kami diberitahu pengetahuan umum tentang bagaimana memelihara gigi dengan baik."

Kelas bahasa sampai menari lansia di Sydney

 

Sementara di Sydney, terdapat sebuah organisasi bernama 'Indocare' yang saat ini sudah memiliki lebih dari 100 anggota lansia aktif.

Didirikan pada tahun 2003, organisasi ini juga memiliki anggota dari negara selain Indonesia seperti Italia, Vietnam, Prancis, Turki, Rusia, Inggris dan Australia.

"Kita menyambut [lansia] dari semua bangsa, ini sedikit unik karena biasanya kelompok Indonesia hanya bergaul dengan orang Indonesia saja." kata Gustinia Dauner, akrab disapa Nia, ketua dari kelompok tersebut.

Di hari Senin dan Kamis setiap minggunya, organisasi ini mengadakan kelas-kelas keterampilan yang dapat diikuti anggota dengan hanya membayar $10 (Rp 92 ribu) per tahun.

 

"Aktivitasnya mulai dari senam 'gentle exercise' seperti menari, taichi, 'line dance' [atau olahraga dengan gerakan dasar] dan 'stay standing' untuk usia lanjut supaya bisa berdiri tegap supaya tidak jatuh," kata Nia.

"Ada juga sesi informasi kesehatan untuk orang tua, karaoke, kelas Bahasa Inggris dan olahraga ping pong yang juga cocok untuk mereka."

Ia mengatakan keberadaan organisasi tersebut hingga saat ini didukung oleh kemauan besar dari para lansia yang antusias dan aktif.

"Semua [anggota] memaksa saya [untuk melanjutkan organisasi ini]. Mereka [lansia] bertanya, 'Kalau saya mau beraktivitas bagaimana? Tidak ada tempat,'" kata Nia yang hampir saja memberhentikan Indocare karena masalah gedung.

"[Para lansia] ini mau Indocare tetap ada karena kebutuhan moral untuk berkumpul dan sosialisasi yang tinggi. Beberapa mengatakan, 'Saya stress, Bu kalau di rumah'."

Saat ini, organisasi tersebut sudah berhubungan dengan program pemerintah Australia bernama 'My Aged Care' yang memberikan dukungan dana bagi lansia di atas 65 tahun.

"Kami sudah membantu anggota usia 65 tahun ke atas yang memenuhi syarat untuk dapat bantuan dana dari pemerintah Australia," kata Nia.

Dengan bantuan pemerintah ini, lansia juga dapat mengakses transportasi dan jasa pembersihan rumah secara gratis.

Masuk Panti Jompo bukan berarti dibuang

Nia, yang kini berusia 60 tahun mengaku memiliki ambisi untuk membangun panti jompo khusus warga Indonesia.

"Supaya mereka 'feel at home' atau merasa seperti di negara sendiri dan tidak terlalu ingin pulang [ke Indonesia]."

Menurut Nia, fasilitas dan bantuan dana bagi lansia di Australia sudah jauh lebih memadai daripada yang ada di Indonesia, sehingga membuat mereka bisa tetap beraktivitas.

"Di Australia memungkinkan bagi lansia yang tidak bisa jalan untuk menggunakan kursi roda, yang tidak punya mobil untuk dijemput, jadi sangat aksesibel kalau mau bersenang-senang," kata dia.

 

"Kalau di Indonesia mungkin terbentur dana, naik transportasi umum juga susah apalagi untuk yang kesulitan berjalan."

Tentang stigma "anak durhaka" yang sering dimiliki orangtua dari Indonesia terhadap anak mereka yang menempatkan di panti jompo, Nia memiliki penjelasan tersendiri.

"Mungkin kalau di Australia semua orang harus bekerja. Umumnya mereka jadi terbatas dalam mengurus orangtua," kata dia.

"Mau tidak mau orang tua harus dibawa ke panti jompo untuk kehidupan yang lebih baik, di mana mereka terpelihara kebutuhan makan dan minumnya."

Nia yang tinggal bersama suaminya di rumah dan masih menjalin hubungan dekat dengan anak-anaknya mengatakan perlunya ada diskusi dan edukasi kepada warga lansia asal Indonesia di Australia, bahwa mereka sebenarnya "bukan dibuang" jika dimasukkan ke panti jompo.

Simak artikel menarik lainnya dari ABC Idonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement