REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Kritikus mengecam langkah Presiden Prancis Emmanuel Macron di Lebanon. Kunjungan Macron usai ledakan Beirut dianggap upaya pemimpin Barat memulihkan kekuasaan mereka di negeri Timur.
"Kami sedang berjalan di tepi jurang, kami harus membantu, mendukung dan menyemangati rakyat Lebanon, tapi di saat yang sama tidak menunjukan impresi kami ingin mendirikan protektorat baru, yang mana benar-benar bodoh," kata mantan menteri budaya dan pendidikan Prancis, Jack Lang, Sabtu (8/8).
Lang mantan menteri kebudayaan dari tahun 1981 hingga 1986 dan pada tahun 1988 hingga 1993. Ia menjabat sebagai menteri pendidikan nasional dari 1992 hingga 1993 dan 2000 hingga 2002. Saat ini ia menjabat sebagai presien Arab World Institute di Paris. "Kami harus menunjukkan solusi yang baru, yang cerdas, dalam membantu rakyat Lebanon," kata politisi Partai Sosialis Prancis itu.
Dalam kunjungannya ke Beirut, Macron mencoba menenangkan warga Lebanon yang marah. Ia berjanji akan membangun kota itu lagi dan mengklaim ledakan Beirut juga menghancurkan hati rakyat Prancis.
"Prancis tidak akan membiarkan Lebanon pergi, hati rakyat Prancis masih berdetak di nadi Beirut," katanya.
Para kritikus mengatakan Macron mencoba mengalihkan perhatian masyarakat Prancis terhadap masalah di dalam negeri. Di media sosial muncul gambar jenaka yang bertuliskan Macron Bonaparte, gambar yang mengejek presiden Prancis itu seakan-akan ingin menjadi Kaisar Napoleon abad ke-21.
Namun sebagian warga Lebanon yang membela kehadiran Macron di negara mereka. Banyak warga Beirut yang memanggilnya 'satu-satunya harapan kami'.
Sebab Macron dianggap berani datang ke puing-puing ledakan saat pemimpin negara itu sendiri takut. Ia juga dinilai mencoba meminta pertanggungjawaban pemimpin Lebanon atas korupsi dan salah kelola pemerintahan selama puluhan tahun.