Ahad 30 May 2021 06:28 WIB

Siapa Benar-Benar Bisa Hentikan Israel di Palestina?

DI Timur Tengah, AS memiliki kepentingan dengan memelihara Israel

Rep: Anadolu/ Red: Elba Damhuri
Serangan Israel ke Gaza Palestina
Foto:

Untuk alasan ini, sebagian besar umat Kristen Injili memandang semua jenis tindakan kekerasan yang dilakukan Israel sebagai bagian dari kebijakan ekspansionisnya dan menekan politisi AS untuk mendukung Israel.

Selama masa jabatan Donald Trump, terlepas dari semua peringatan, orang Kristen Injili memiliki pengaruh signifikan pada adopsi keputusan radikal tertentu, seperti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel secara sepihak. Apalagi, mantan wakil presiden Mike Pence adalah anggota tetap kelompok ini.

Meskipun dampak lobi-lobi ini pada sistem politik AS diperkuat oleh ketiadaan atau kelemahan aktivis HAM Muslim dan liberal untuk menyeimbangkannya, sejumlah perkembangan positif baru-baru ini tidak boleh diabaikan.

Dalam beberapa tahun terakhir terlihat bahwa sejumlah kelompok, terutama di kalangan Partai Demokrat, secara terbuka bereaksi terhadap kekerasan Israel terhadap warga sipil Palestina. Kelompok-kelompok ini mendukung Israel meninggalkan kebijakan ekspansionisnya dan menahan diri dari melakukan kekerasan terhadap warga sipil, serta pelanggaran hak asasi manusia.

Anggota Partai Demokrat Rashida Tlaib, seorang perwakilan Palestina AS, dan Ilhan Omar, perwakilan Muslim AS lainnya, secara konsisten mengemukakan poin-poin ini di dalam partai.

Bernie Sanders, seorang senator Vermont Yahudi dan populis kiri yang mencalonkan diri dalam pemilihan presiden AS 2016 dan 2020, juga mengkritik keras agresi Israel dan tindakan ilegal terhadap warga sipil Palestina.

Akibatnya, kita mungkin berpendapat bahwa pandangan orang-orang Palestina semakin didengar, meskipun mereka masih terpinggirkan. Menurut survei baru-baru ini oleh perusahaan riset Gallup yang berbasis di Washington DC, 25 persen pemilih Partai Demokrat lebih bersimpati kepada orang Palestina daripada kepada orang Israel.

Demikian pula, mayoritas pemilih Partai Demokrat (53 persen) percaya bahwa AS harus menekan Israel untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Ada faktor lain yang menyebabkan upaya melemahkan dukungan sosial untuk Israel menjadi sulit meski mereka jelas-jelas melakukan tindakan kekerasan. Setelah berakhirnya Perang Dingin, elite konservatif AS, yang dikenal sebagai "neo-kontra", menyatakan Islam dan Muslim sebagai musuh baru mereka dalam kebijakan luar negeri dan mengadopsi kebijakan yang mengaitkan mereka dengan terorisme.

Menyusul serangan teroris 11 September 2001, kebijakan ini bergema di seluruh masyarakat Amerika dan mengakar kuat. AS kemudian menginvasi Irak dan Afghanistan. Sementara ribuan Muslim sipil terbunuh dalam invasi ini, AS juga menderita kerugian militer yang besar.

Akibatnya, retorika anti-Islam, yang merembes ke media arus utama, menyebabkan munculnya Islamofobia di masyarakat Amerika. Di AS, hal ini diikuti oleh serangan verbal dan fisik terhadap orang-orang Muslim di ruang publik.

Muslim yang tinggal di negara itu menjadi sasaran pengawasan oleh pasukan keamanan. Persepsi masyarakat AS dan pembuat kebijakan tentang masalah Palestina telah terpengaruh secara negatif selama 20 tahun terakhir, yang dibayangi oleh meningkatnya Islamofobia.

Pada akhirnya, lobi Israel dan Yahudi untuk memengaruhi publik Amerika demi kepentingan mereka menjadi sangat mudah.

Selain politik dalam negeri Amerika, yang juga perlu disoroti ialah keberadaan aliansi khusus dan jangka panjang antara AS dan Israel. Misalnya, karena pengaruh besar Israel di media di seluruh dunia, lingkaran intelektual, dan lingkaran keuangan dalam skala global, kritik sekecil apa pun terhadap Israel ditekan dan diberi label sebagai anti-Semitisme.

Oleh karena itu, tatanan pro-Israel ini membuat komunitas internasional berada di bawah tekanan yang luar biasa, sekaligus menyulitkan AS untuk mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement