Selasa 11 Jan 2022 15:26 WIB

Kerusuhan Disebut Indikasi Pertarungan Kekuasaan Elite Kazakhstan

Media massa Barat menyebut kerusuhan di Kazakhstan indikasi pertarungan para elite

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Polisi anti huru hara berjalan untuk memblokir demonstran selama protes di Almaty, Kazakhstan, 5 Januari 2022. Media massa Barat menyebut kerusuhan di Kazakhstan indikasi pertarungan para elite.
Foto:

Undang Rusia

Kekerasan itu mendorong Presiden Kassym-Jomart Tokayev menyebut demonstran sebagai teroris dan bandit. Padahal apa yang dilakukan gerombolan anak muda ini persis seperti dilakukan kaum muda lainnya di dunia ini termasuk kaum muda Amerika Serikat yang ramai menuntut kesetaraan ras tahun lalu.

Kaum muda selalu menjadi kelompok yang paling berani berkonfrontasi sekalipun menghadapi peluru tajam. Di luar kelompok-kelompok itu ada kelompok yang terdiri dari para kriminal dan kaum radikal yang memanfaatkan situasi ini untuk merusak citra aman Kazakhstan. Zhovti yakin dua massa terakhir ini yang memicu kerusuhan sekalipun membawa agenda masing-masing.

Mereka menyerang polisi dan mencuri senjata. Kelompok kriminal disebut-sebut sengaja ditanam dalam gerakan demonstrasi oleh elite penguasa negara itu sendiri. Menghadapi situasi yang sepertinya bakal tak terkendali, Presiden Tokayev lalu meminta bantuan organisasi regional negara-negara bekas Uni Soviet, Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO).

Dia mengundang CSTO yang beranggotakan Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan agar mengirimkan pasukan ke Kazakhstan guna memulihkan ketertiban. Tak lama kemudian, kontingen tentara Rusia berdatangan ke Kazakhstan. Langkah ini langsung dikecam Barat, apalagi terjadi bersamaan dengan rencana pembicaraan krisis Ukraina antara Rusia dan AS.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pun menyindir bahwa biasanya ketika Rusia mengirim pasukan ke sebuah negara maka nantinya akan sulit ditarik kembali. Rusia balas mengkritik AS juga begitu terhadap banyak negara termasuk Irak. Rusia menegaskan kehadiran pasukannya di Kazakhstan sah karena berpegang kepada perjanjian internasional CSTO, bukan aksi unilateral seperti dilakukannya di Krimea delapan tahun silam.

Namun pembelaan Rusia ini tak menghilangkan anggapan Barat bahwa Rusia bermain api di Kazakhstan dengan menyiapkan langkah untuk mengulangi apa yang sudah dilakukannya di Krimea. Sementara China yang memiliki perbatasan sepanjang 1.800-an kilometer dengan Kazakhstan berusaha hati-hati.

Belakangan ini, China dan juga AS aktif berbisnis di Kazakhstan yang oleh Rusia dipandang halaman depannya persis terhadap Ukraina dan Belarusia di Eropa timur. Kazakhstan juga menjadi jalur paling aman China untuk terhubung dengan Eropa dalam bingkai Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). Namun China pragmatis bahwa siapa pun yang menjamin stabilitas di Kazakhstan akan baik juga untuk China.

China juga percaya diri siapa pun yang berkuasa di Kazakhstan mustahil mau mengecualikan China. Negara ini berusaha menunggu dan sebagaimana biasa tak ingin terkesan campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh lagi, koneksi Rusia-China-AS di Kazakhstan lebih merupakan akibat, ketimbang faktor yang melatarbelakangi kerusuhan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement